MENGAPA DARWINISME
BERTENTANGAN DENGAN AL QUR’AN
Harun
Yahya
Penerjemah: Erich H.
Ekoputra
Penyunting: Aryani
DAFTAR ISI:
PENGANTAR
MENGAPA SEBAGIAN KAUM
MUSLIMIN MENDUKUNG
TEORI EVOLUSI?
KEBENARAN PENTING YANG
TERABAIKAN OLEH KAUM
MUSLIMIN YANG MENDUKUNG
TEORI EVOLUSI
ILMU PENGETAHUAN TENTANG
CIPTAAN ALLAH
KEKELIRUAN MEREKA YANG
MENGGUNAKAN AYAT-AYAT
AL QUR’AN UNTUK
‘MEMBUKTIKAN’ EVOLUSI
APA YANG TERJADI JIKA
DARWINISME TIDAK
DIANGGAP SEBAGAI SEBUAH
ANCAMAN?
KESIMPULAN
PENGANTAR
Beragam konsep bisa muncul di benak kita apabila
teori evolusi disebut. Sebagian orang, terutama kaum materialis yang mengira
teori ini adalah fakta yang sudah terbukti secara ilmiah, dengan amat sengit
mendukungnya, dan juga, dengan sama sengitnya, menolak semua gagasan yang
bertentangan dengannya.
Kelompok
kedua terdiri atas orang-orang yang tidak punya cukup keterangan tentang
berbagai pernyataan teori evolusi. Mereka tak begitu tertarik kepadanya, karena
tidak menyadari kerusakan yang telah dibawa Darwinisme kepada kemanusiaan dalam
satu setengah abad terakhir ini. Bagi mereka tidak menjadi masalah bahwa teori
ini dicekokkan kepada masyarakat serta dipertahankan mati-matian, sekalipun
secara ilmiah teori ini sudah tidak absah, sebab mereka telah menutup mata
terhadap apa yang sedang berlangsung.
Seandainya pun mereka tahu bahwa teori ini telah
kehilangan semua nilai kebenaran ilmiahnya, mereka tidak bisa bersungguh
menghadapi orang yang masih memandangnya penting, karena mereka sendiri tidak menganggapnya
penting. Mereka pikir tidak perlu menerangkan ketidak-absahan teori tersebut,
menerbitkan buku, atau menggelar ceramah-ceramah tentang perihal ini, sebab di
mata mereka teori itu sudah jadi barang kuno atau usang.
Kelompok ketiga adalah mereka, yang di bawah
pengaruh saran dan propaganda materialis, memandang teori ini sebagai fakta
ilmiah dan mencari “jalan tengah” antara teori evolusi dan iman kepada Allah.
Mereka menerima segenap uraian Darwinisme tentang asal-muasal kehidupan, namun
mencoba membangun jembatan yang menghubungkan teori evolusi dengan kepercayaan
agama, yaitu dengan berpendapat bahwa peristiwa dalam uraian tersebut
berlangsung dalam kendali Allah.
Sesungguhnya, semua pandangan itu keliru, sebab
teori evolusi tidak dapat disajikan secara nalar sebagai sebuah fakta ilmiah,
diabaikan seakan sepele, maupun disesuaikan dengan agama. Sebagaimana akan kita
lihat di sepanjang buku ini, kerangka pemikiran teori ini adalah gagasan
anti-agama, yang diajukan untuk memperkuat paham ateisme (paham tak bertuhan)
dan memberinya landasan yang kukuh. Lebih lagi, teori ini dibela dengan sengit
oleh mereka yang sudah terbuai oleh materialisme, karena dibangun di atas
filsafat materialis (kebendaan), dan menyajikan uraian tentang dunia secara
materialis. Sejak pertama kali dikemukakan oleh Charles Darwin sampai hari ini,
teori ini tidak menyumbangkan apa pun bagi kemanusiaan selain pertikaian,
pengisapan, perang, dan kemunduran. Menimbang hal itu, penting bagi kita untuk
memiliki pemahaman yang kuat atas permasalahan ini, dan melancarkan perjuangan
yang sungguh-sungguh untuk melawannya di tingkat pemikiran atau ideologis.
Buku ini menanggapi, dari sudut pandang yang amat
berbeda, berbagai kesalahan kaum beriman, yang masih mendukung teori evolusi.
Buku ini menawarkan jawaban bagi kaum Muslimin yang mencari satu “tempat
pijakan bersama” bagi teori evolusi serta fakta penciptaan, dan yang bahkan
mencoba memperoleh bukti kebenaran teori itu dalam Al Qur’an. Maksud buku ini
bukanlah mencela kaum Muslimin pendukung teori evolusi, melainkan menjelaskan
bahwa sikap mereka itu keliru, membantu mereka pada aras pemikiran, dan menjadi
sarana bagi mereka untuk menerapkan sudut pandang yang lebih tepat.
Dua fakta lain akan dibahas dalam buku ini.
Pertama, Darwinisme adalah sebuah teori yang tak berlandasan ilmiah, dan kedua,
bahwa sasaran teori ini yang sebenarnya adalah agama. Karena itu, buku ini akan
menekankan betapa keliru apabila kaum Muslimin menganggap enteng atau
meremehkan teori itu, dan tidak melihat perlunya mengobarkan perang pemikiran
melawannya.
Kaum beriman harus menghindari membela teori ini
dan makna pemikirannya, karena keduanya menentang kebenaran Islam. Sebagian
mukmin mungkin mendukung teori ini, karena tidak sadar akan berbagai bencana
yang dibawanya pada umat manusia, bahwa teori ini didukung oleh mereka yang
membenci agama, dan bahwa teori ini menolak fakta penciptaan. Mengingat hal
itu, kaum Muslimin yang hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang teori ini,
harus menghindari menempuh jalan itu, sebab sebagaimana difirmankan Allah dalam
Al Qur’an kepada mereka yang taat:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Israa’, 17: 36)
Muslim teladan sebaiknya meneliti masalah ini
dengan setulusnya, dan berlaku sesuai dengan kesadaran bahwa:
Barangsiapa yang taat, maka mereka itu
benar-benar telah memilih jalan yang lurus.(QS. Al Jin, 72: 14)
Sebagaimana diperintahkan ayat di atas, kaum
Muslimin yang meyakini kebenaran teori evolusi harus mempertimbangkan teori ini
dengan hati-hati, melakukan penelitian yang luas, dan mengambil keputusan
sesuai dengan nurani mereka. Buku ini ditulis untuk menolong mereka melakukan
hal-hal tersebut, dan untuk sekadar menyinari jalan yang mereka tempuh.
BAB I
MENGAPA SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN MENDUKUNG TEORI EVOLUSI?
Sepanjang sejarah, manusia sudah memikirkan alam
semesta dan asal-muasal kehidupan ini, dan sudah mengajukan berbagai gagasan
tentang hal ini. Kita dapat membagi gagasan-gagasan itu menjadi dua kelompok:
yang menjelaskan alam semesta ini dari sudut pandang materialis, dan yang
melihat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan, yakni, kebenaran
penciptaan.
Dalam pengantar buku ini, telah kita lihat bahwa
teori evolusi didirikan pada filsafat materialis. Pandangan materialis
menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas materi, dan materi adalah
satu-satunya hal yang ada. Karena itu, materi ada selama-lamanya, dan tidak ada
kuasa lain yang mengaturnya. Kaum materialis percaya bahwa faktor ketidaksengajaan
(kebetulan) yang buta menyebabkan alam semesta membentuk diri, dan makhluk
hidup muncul secara bertahap, berevolusi dari zat-zat tak-hidup. Dengan kata
lain, semua makhluk hidup di dunia ini muncul sebagai akibat berbagai pengaruh
alam dan ketidaksengajaan.
Filsafat materialis menggunakan teori evolusi,
yang keduanya saling melengkapi, untuk menjelaskan timbulnya makhluk hidup.
Kesatuan ini, yang lahir di zaman Yunani kuno, kembali disebarluaskan saat ilmu
pengetahuan masih terbelakang di abad ke-19, dan, karena teori itu dianggap
mendukung paham materialisme, tak perduli secara ilmiah absah atau tidak, teori
ini segera dirangkul oleh kaum materialis.
Fakta penciptaan bertentangan dengan teori
evolusi. Menurut pandangan kreasionis (penciptaan), materi tidaklah ada sejak
dan untuk masa yang tak terhingga, dan karena itu, dikendalikan. Allah
menciptakan materi dari ketiadaan dan memberinya keteraturan. Semua makhluk,
hidup maupun tak-hidup, ada karena diciptakan Allah. Rancangan, perhitungan,
keseimbangan, dan keteraturan yang tampak di alam semesta dan dalam makhluk
hidup merupakan bukti nyata akan hal ini.
Semenjak awal, agama telah mengajarkan kebenaran
penciptaan, yang dapat dipahami semua orang melalui penggunaan akal dan
pengamatan pribadi. Semua agama samawi telah mengajarkan bahwa Allah
menciptakan alam semesta dengan berfirman “Jadilah!”, dan bahwa bekerjanya alam
semesta secara sempurna tanpa cela merupakan bukti daya ciptaNya yang agung.
Banyak ayat Al Qur’an juga mengungkapkan kebenaran ini. Misalnya, Allah
mengungkapkan bagaimana Dia secara ajaib menciptakan alam semesta dari
ketiadaan:
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila
Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: "Jadilah”. Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah, 2: 117)
Allah juga mengungkapkan yang berikut:
Dan Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia
mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala
kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang
nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6:
73)
Ilmu pengetahuan mutakhir membuktikan
ketidak-absahan pernyataan materialis-evolusionis, dan menegaskan kebenaran
penciptaan. Berlawanan dengan teori evolusi, semua bukti penciptaan yang
mengelilingi kita menunjukkan bahwa faktor kebetulan tidak berperan dalam
terwujudnya alam semesta. Setiap rincian yang tampak saat kita mengamati
langit, bumi, dan semua makhluk hidup dimaksudkan sebagai bukti kebijaksanaan
dan kekuasaan Allah yang agung.
Perbedaan
mendasar antara agama dan paham ateisme adalah, yang pertama mempercayai Allah,
sedangkan yang terakhir mempercayai materialisme. Ketika Allah bertanya kepada
mereka yang ingkar, Dia menarik perhatian terhadap pernyataan yang mereka
ajukan untuk menolak penciptaan: Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka
yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. Ath Thuur, 52: 35)
Sejak zaman bermula, mereka yang mengingkari
penciptaan senantiasa menyatakan bahwa manusia dan alam semesta tidaklah
diciptakan, dan selalu berusaha membenarkan pernyataan tak masuk akal itu.
Dukungan yang terbesar bagi mereka tiba di abad ke-19, berkat teori Darwin.
Kaum muslimin tidak boleh mengadakan jalan tengah
dalam masalah ini. Memang, orang boleh berpikir sesukanya, dan boleh percaya
apa pun yang ingin dipercayainya. Akan tetapi, tidak ada jalan tengah bagi
teori yang mengingkari Allah dan ciptaanNya, sebab hal itu berarti
tawar-menawar dalam unsur dasar agama. Tentu, berbuat demikian sama sekali tak
bisa diterima.
Para evolusionis, karena sadar betapa jalan tengah
seperti itu akan merusak agama, mendorong orang-orang beriman agar berusaha
memperolehnya.
Kaum Darwinis Menganjurkan Pandangan
Penciptaan-melalui-Evolusi
Para ilmuwan yang mendukung teori evolusi secara
buta, kini semakin tersudut oleh berbagai kemajuan ilmiah baru, yang kian lama
kian banyak dan kian terbuka bagi orang awam. Menyadari bahwa setiap penemuan
baru adalah bertentangan dengan teori ini, serta menegaskan kebenaran
penciptaan, maka demagogi (tindakan menghasut masyarakat) pun berperan lebih
penting daripada bukti ilmiah dalam berbagai naskah evolusionis. Di sisi lain,
majalah-majalah ilmiah pendukung teori evolusi yang paling terkemuka sekalipun,
seperti Science, Nature, Scientific American atau New
Scientist, terpaksa mengakui bahwa beberapa segi dalam teori Darwin sudah
menghadapi jalan buntu. Para ilmuwan yang mendukung paham penciptaan
memenangkan berbagai debat ilmiah ini, dan dengan demikian, menyingkapkan
berbagai pernyataan tak berdasar yang diajukan kaum evolusionis.
Di sinilah, pandangan penciptaan lewat evolusi
menjadi penolong bagi kaum materialis. Ini merupakan salah satu taktik yang
digunakan kaum evolusionis untuk melunakkan sikap para pendukung paham
penciptaan (atau “Rancangan Cerdas”), dan melemahkan posisi intelektual mereka
dalam melawan dogma Darwinisme. Walaupun tidak mempercayai Tuhan karena telah
mendewakan faktor kebetulan atau ketidaksengajaan, dan menentang habis fakta
penciptaan, kaum evolusionis menganggap bahwa teori mereka akan lebih dapat
diterima jika mereka berdiam diri tentang gagasan kaum beragama yang sekaligus
mendukung teori evolusi, bahwa Allah menciptakan makhluk hidup lewat evolusi.
Malah, mereka menganjurkan jalan tengah antara teori ini dan agama, sehingga
evolusi lebih dapat diterima dan kepercayaan akan penciptaan melemah.
Melihat ini, kaum Muslimin harus mengerti bahwa
adalah salah sepenuhnya apabila kita percaya bahwa Allah menciptakan alam
semesta, namun sekaligus mendukung teori evolusi sekalipun tidak ada bukti
ilmiah yang meyakinkan. Lebih jauh lagi, adalah sama salahnya apabila kita
menyatakan bahwa evolusi selaras dengan Al Qur’an, dengan cara mengabaikan
semua peringatan dalam kitab suci itu sendiri. Kaum Muslimin yang bersikap
seperti itu perlu menyadari bahwa mereka sedang mendukung sebuah gagasan yang
dirancang untuk membantu filsafat materialis dan, setelah tahu hal ini, harus
segera menarik kembali dukungan mereka.
Menolak Evolusi Tidak Berarti
Menolak Ilmu Pengetahuan
Jumlah Muslim yang percaya bahwa semua makhluk
hidup muncul melalui evolusi tidaklah boleh diremehkan. Kesalahan mereka
berdasarkan pada kurangnya pengetahuan serta berbagai sudut pandang yang
keliru, khususnya yang terkait dengan berbagai masalah ilmu pengetahuan.
Kesalahan yang utama adalah gagasan bahwa evolusi adalah fakta ilmiah dan sudah
terbukti kebenarannya.
Orang seperti
mereka tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan telah mengikis habis tingkat
kebenaran teori evolusi. Baik di tingkat molekuler, atau pun dalam biologi dan paleontologi,
penelitian telah membuktikan
ketidak-absahan pernyataan makhluk hidup muncul sebagai hasil proses evolusi.
Teori Darwin mampu bertahan,
sekalipun bertentangan dengan kenyataan ilmiah, hanya karena para evolusionis melakukan segala hal yang mereka bisa, termasuk sengaja menyesatkan
orang, agar teori itu tetap
hidup. Tulisan dan ceramah mereka dipenuhi istilah
ilmiah yang tidak dimengerti orang awam. Tetapi bila kata-kata mereka ditelaah, orang tidak dapat menemukan bukti
untuk mendukung teori mereka.
Pemeriksaan yang seksama atas karya tulis terbitan
kaum Darwinis telah jelas mengungkapkan kenyataan ini. Uraian mereka hampir
tidak pernah berdasarkan bukti ilmiah yang kukuh. Berbagai bidang mendasar,
tempat teori ini runtuh, dipulas dengan beberapa patah kata, dan banyak uraian
aneh ditulis tentang sejarah alam. Mereka tidak pernah memusatkan perhatian
pada pertanyaan-pertanyaan utama, misalnya bagaimana pertama kali kehidupan
timbul dari zat-zat yang tak-hidup, celah-celah lebar pada catatan fosil, dan
sistem pada makhluk hidup yang rumit. Mereka tidak melakukannya, karena apa pun
yang dapat mereka katakan atau tulis akan berlawanan dengan tujuan mereka serta
mengungkapkan kekosongan teori mereka.
Ketika Charles Darwin (1809-1882), pendiri teori
ini, menelaah salah satu sistem rumit yang terdapat pada makhluk hidup, yakni mata,
ia menyadari bahaya yang mengancam teorinya, dan ia bahkan mengakui bahwa
memikirkan mata membuat sekujur tubuhnya menggigil. Seperti Darwin, para
ilmuwan evolusionis masa kini tahu bahwa teori mereka tidak memiliki penjelasan
tentang sistem rumit serupa itu. Namun, bukannya mengakui hal ini, mereka
justru mencoba menutupi tiadanya bukti ilmiah, dengan cara menulis berbagai
uraian khayal serta mencekokkan teori ini kepada masyarakat dengan memberinya
sebuah topeng ilmiah.
Cara-cara ini tampak jelas dalam debat tatap muka
antara kaum evolusionis dengan mereka yang meyakini penciptaan, maupun dalam
tulisan dan film dokumenter evolusionis. Sebenarnya, kaum evolusionis tidak
peduli pada hal-hal seperti kebenaran ilmiah atau akal sehat, karena sasaran
tunggalnya adalah membuat orang yakin bahwa evolusi adalah kenyataan ilmiah.
Dengan cara demikian, kaum Muslimin pendukung
evolusi termakan oleh citra teori ini yang katanya “ilmiah”. Khususnya, mereka
tertusuk oleh semboyan Darwinis, seperti: “Siapa pun yang tidak mempercayai
teori evolusi artinya bersikap taklid (meyakini sesuatu secara buta) atau tidak
ilmiah,” dan karena itu memberikan ruang dalam keyakinan mereka yang
sebenarnya. Karena terpengaruh keterangan usang atau tulisan dan pendapat
evolusionis, mereka percaya bahwa hanya evolusi yang dapat menerangkan
peristiwa munculnya kehidupan. Lalu mereka mencoba menyelaraskan agama dan
evolusi, karena tidak mengetahui perkembangan ilmiah mutakhir maupun
pertentangan dalam teori itu sendiri, serta tingkat keyakinan terhadap
kebenaran teori tersebut yang telah lenyap.
Akan tetapi, menimbang bahwa evolusi bertentangan
180 derajat dengan penciptaan, membuktikan kebenaran yang satu akan berarti menggugurkan
yang lainnya. Dengan kata lain, menggugurkan evolusi berarti membuktikan
penciptaan.
Karena alasan-alasan ini, kaum materialis
memandang debat tentang evolusi sebagai sejenis medan perang, semacam perang
terbuka antar paham pemikiran, dan bukan sebagai masalah ilmiah. Jadi, kaum
materialis melakukan semua cara yang mungkin untuk menghalangi mereka yang
meyakini paham penciptaan.
Misalnya, evolusionis Lerry Flank menyarankan agar
kebenaran penciptaan dilawan dengan cara-cara berikut:
Para pengawas terhadap kaum
kreasionis harus ketat mengawasi susunan anggota dewan pendidikan negara
bagian. Sebaiknya, mereka yang berminat kepada pendidikan yang bermutu serta
kepada pencegahan langkah kaum fundamentalis yang hendak memakai sekolah negeri
untuk berkhotbah, menjadi mayoritas anggota dewan-dewan ini … Jika ini gagal,
dan buku-buku pelajaran berpaham kreasionis benar-benar dipakai dan disetujui, maka
tindakan hukum menjadi perlu diambil. [1]
Jelaslah dari kata-kata ini bahwa kita bukan
sedang bicara tentang suatu debat ilmiah, melainkan tentang sebuah perang
gagasan, yang dicanangkan oleh kaum evolusionis dalam kerangka kerja siasat
tertentu.
Kaum Muslimin yang mempertahankan evolusi harus
menyadari hal ini. Darwinisme bukan sebuah pandangan ilmiah; melainkan sebuah
sistem berpikir yang dirancang untuk menggiring orang mengingkari Allah. Karena
teori ini tidak berlandasan ilmiah, seorang Muslim tidak boleh membiarkan diri
disesatkan oleh berbagai pendapat dalam teori ini, dan lalu memberikan
dukungan, setulus apa pun niatnya.
Akibat Jika Kaum Evolusionis Menjadi Mayoritas
Muslihat terpenting kaum evolusionis agar teori
Darwin diterima secara luas adalah dengan menandaskan bahwa teori itu diterima
luas di kalangan masyarakat ilmiah. Pendeknya, mereka menyatakan keabsahan
teori ini didasarkan atas anggapan bahwa penganutnya merupakan mayoritas (berjumlah
terbanyak), dan anggapan bahwa pandangan mayoritas adalah benar dalam setiap
masalah. Dengan menggunakan jalan pikiran itu, serta pernyataan bahwa kebenaran
evolusi kian terbukti oleh penerimaan yang luas di berbagai perguruan tinggi,
mereka mencoba memakai tekanan kejiwaan pada setiap orang, termasuk yang
percaya kepada Allah, untuk menerimanya.
Arda Denkel, seorang evolusionis guru besar ilmu
filsafat di Universitas Bosphorus, mungkin yang paling tersohor di Turki,
bahkan mengakui kelirunya cara ini:
Apakah dengan banyaknya
orang, organisasi atau lembaga terhormat yang mempercayainya, teori evolusi
terbukti benar? Bisakah teori itu dibuktikan dengan keputusan pengadilan?
Apakah jika orang terhormat atau berkuasa mempercayai sesuatu, maka sesuatu itu
akan menjadi benar? Saya ingin mengenang sebuah kenyataan sejarah. Bukankah
Galileo berdiri di hadapan semua orang, pengacara, dan khususnya ilmuwan
terhormat zamannya, dan secara sendirian mengatakan kebenaran, tanpa dukungan
satu orang pun? Tidakkah berbagai sidang dewan Inkuisisi mengungkapkan suasana
serupa? Memperoleh dukungan dari kelompok terhormat dan berpengaruh tidak
menciptakan kebenaran, dan tidak berkaitan dengan kenyataan ilmiah.[2]
Seperti pendapat Denkel, penerimaan luas terhadap
sebuah teori tidak membuktikan kebenarannya. Nyatanya, sejarah ilmu pengetahuan
dipenuhi berbagai contoh teori, yang awalnya diterima oleh sedikit orang (golongan
minoritas) saja, dan baru kemudian diterima kebenarannya secara mayoritas.
Lebih lagi, evolusi tidaklah diterima oleh seluruh
masyarakat ilmiah, seperti yang diupayakan oleh para pendukungnya agar diyakini
orang. Selama 20-30 tahun terakhir, jumlah ilmuwan yang menolaknya telah
meningkat secara luar biasa. Kebanyakan dari mereka meninggalkan kepercayaan buta
kepada Darwinisme, sesudah melihat rancangan yang tanpa cacat di alam semesta
dan dalam makhluk hidup. Mereka telah menerbitkan karya tulis yang tak
terhitung jumlahnya, yang membuktikan ketidak-absahan teori itu. Lebih penting
lagi, mereka merupakan anggota berbagai perguruan tinggi terkemuka di seantero
dunia, khususnya Amerika Serikat dan Eropa, dan pakar serta peneliti karir
dalam bidang biologi, biokimia, mikrobiologi, anatomi, paleontologi, dan bidang
ilmu lainnya.[3] Karena itu, sangat keliru berkata bahwa jumlah terbanyak dalam masyarakat
ilmiah mempercayai evolusi.
Karena itu, tidak akan bermakna apa-apa, sekalipun
jika kaum evolusionis sungguh menjadi jumlah terbanyak. Tidak ada pandangan
mayoritas yang sepenuhnya benar hanya karena itu pandangan mayoritas. Kaum
Muslimin yang mempercayai evolusi perlu tahu bahwa Al Qur’an membahas masalah
ini ketika menceritakan nasib banyak masyarakat zaman dahulu, yang berpandangan
serupa, dan akhirnya mengingkari Allah dan agamaNya dengan cara membiarkan diri
tersesat dari jalan yang lurus. Allah memperingatkan kaum mukmin agar tidak
mengikuti orang-orang yang penuh tipu-daya demikian, dan mengabarkan kepada
umat manusia bahwa berjalan bersama jumlah terbanyak, atau mayoritas, bisa
mengakibatkan manusia tergiring ke arah kesalahan yang mengerikan:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang
di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah). (QS. Al An’aam, 6: 116)
BAB II
KEBENARAN PENTING YANG
TERABAIKAN OLEH KAUM MUSLIMIN YANG MENDUKUNG TEORI EVOLUSI
Dalam bab sebelumnya, telah kita bahas bagaimana kaum
Muslimin yang telah diyakinkan bahwa evolusi itu adalah sebuah fakta
(kenyataan), dan bukan teori, mungkin tak menyadari berbagai kemajuan ilmiah
terkait dan mutakhir, yang membantah paham Darwinisme. Tiadanya kesadaran ini
menghalau kaum evolusionis Muslim untuk terus menerima gagasan dan kepercayaan
yang sudah dibuktikan sebagai tak absah oleh ilmu pengetahuan. Lebih jauh,
mereka mengabaikan kenyataan bahwa landasan yang mendasari evolusi mencerminkan
tabiat pagan (musyrik, atau tak beragama), menganggap bahwa kuasa
ilahiah dimiliki oleh unsur kebetulan atau ketidaksengajaan dan peristiwa alam,
dan telah menyebabkan amat banyak penindasan, pertikaian, perang, dan berbagai
malapetaka lain.
Bab ini akan khusus membahas kenyataan itu, yang
terabaikan oleh kaum evolusionis Muslim, dan menghimbau mereka agar menghentikan
dukungan bagi tabiat pagan yang memberikan landasan bagi paham pemikiran
materialis dan tak bertuhan.
Evolusi Adalah Gagasan Yunani Kuno
yang Tak Mengenal Agama
Berlawanan dengan yang dinyatakan oleh para
pendukungnya, evolusi bukanlah sebuah teori ilmiah, melainkan sebuah
kepercayaan musyrik. Gagasan tentang evolusi muncul pertama kalinya dalam
masyarakat kuno, seperti Mesir, Babilonia, dan Sumeria, lalu mencapai para
filsuf Yunani kuno. Tugu peninggalan bangsa Sumeria yang musyrik berisi pernyataan
yang mengingkari penciptaan, dan menegaskan bahwa makhluk hidup muncul dengan
sendirinya sebagai bagian proses yang bertahap. Menurut kepercayaan Sumeria,
kehidupan muncul dengan sendirinya dari kekacauan atau pergolakan air.
Sebagai bagian dari agama takhayul yang dianutnya,
orang Mesir kuno percaya bahwa “ular, katak, cacing, dan tikus timbul dari
lumpur banjir Sungai Nil”. Sama seperti orang Sumeria, orang Mesir kuno
mengingkari keberadaan Sang Pencipta, dan mengira bahwa “makhluk hidup muncul dari
lumpur secara kebetulan atau tanpa sengaja.”
Pernyataan terpenting para filsuf Yunani seperti
Empedocles (abad ke-5 SM), Thales (wafat 546 SM), dan Anaximander (wafat 547
SM) dari Miletus adalah bahwa makhluk hidup pertama terbentuk dari zat-zat
tak-hidup seperti udara, api, dan air. Teori ini berpendapat makhluk hidup
pertama muncul tiba-tiba di air, dan lalu beberapa di antaranya meninggalkan
air, menyesuaikan diri hidup di darat, dan mulai menetap hidup di sana. Thales
percaya bahwa air adalah akar segenap kehidupan, bahwa tumbuhan dan hewan mulai
berkembang di air, dan bahwa manusia adalah hasil akhir proses ini.[4] Anaximander, filsuf sezaman Thales yang lebih muda, berpendirian bahwa
“manusia tumbuh dari ikan” dan bahwa sumber kehidupan mulai dengan “segumpal
massa purba”. [5]
Karya puisi Anaximander Tentang Alam
merupakan karya tulis pertama yang ada yang berdasarkan teori evolusi. Dalam
puisi itu, ia menulis bahwa makhluk hidup muncul dari lendir yang dikeringkan
oleh matahari. Ia berpikir bahwa hewan pertama berkulit sisik yang berduri, dan
hidup di lautan. Sambil berubah perlahan-lahan, makhluk mirip ikan ini pindah
ke darat, melepaskan kulit sisik durinya, dan akhirnya menjadi manusia.[6] (Untuk lebih rinci,
lihat The Religion of Darwinism, Harun Yahya, Abu'l Qasim Publishers,
Jeddah, 2003). Teorinya bisa dianggap sebagai landasan pertama teori evolusi
masa kini, karena memiliki banyak kemiripan dengan paham Darwinisme.
Empedocles menyatukan gagasan-gagasan awal, dan mengemukakan bahwa
unsur-unsur dasar (yakni, tanah, udara, api, dan air) bersatu menciptakan
berbagai tubuh. Ia juga percaya bahwa manusia berkembang dari kehidupan
tumbuhan, dan hanya faktor di luar kesengajaanlah yang berperan dalam proses
ini. [7] Sebagaimana telah
disebutkan, pemikiran tentang ketidaksengajaan ini beserta perannya dalam
penciptaan, menjadi landasan utama ditegakkannya teori evolusi.
Heraclitus (wafat abad ke-5 SM) menyatakan, karena alam semesta selalu
dalam proses perubahan yang terus-menerus, tidak ada gunanya mempertanyakan
dongeng uraian tentang awal alam semesta. Ditandaskan olehnya bahwa alam
semesta tidak berawal atau berakhir. Sebaliknya, alam semesta ada begitu saja. [8] Singkatnya,
kepercayaan materialis, yang di atasnya berdiri evolusi, juga ada di masa
Yunani kuno.
Gagasan perkembangan seketika didukung oleh banyak
filsuf Yunani lain, khususnya Aristoteles (384-322 SM). Gagasan ini mengatakan
bahwa hewan, khususnya cacing, serangga, dan tumbuhan, muncul dengan sendirinya
di alam, dan tidak perlu melalui proses pembuahan. Maurice Manquat, yang
tersohor akan berbagai kajiannya tentang gagasan Aristoteles mengenai sejarah
alam, suatu kali berkata:
Aristoteles begitu memikirkan asal-muasal
kehidupan, sampai-sampai ia menerima kemunculan
seketika (bersatunya zat-zat tak-hidup untuk seketika membentuk makhluk hidup)
untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak dapat diterangkan
dengan cara lain. [9]
Bila diperiksa dengan seksama, tampak ada cukup
banyak kemiripan antara gagasan-gagasan para pemikir evolusionis zaman dulu
dengan sekarang. Akar gagasan materialis, yaitu alam semesta tak berawal dan
tak berakhir, maupun pandangan evolusionis, yaitu makhluk hidup muncul sebagai
akibat faktor kebetulan, terdapat dalam budaya Sumeria musyrik, dan umum di
kalangan pemikir materialis Yunani. Gagasan bahwa kehidupan muncul dari air dan
adonan yang disebut segumpal “massa purba”, serta bahwa makhluk hidup muncul
hanya karena ketidaksengajaan, menjadi dasar kedua gagasan ini, yang masih
terkait sekalipun terpisah tenggang waktu yang amat panjang.
Jadi, kaum evolusionis Muslim mendukung sebuah
teori, yang akarnya tertanam dalam gagasan kuno yang telah terbukti tidak
memiliki dasar ilmiah. Lebih lagi, gagasan serupa pertama kali diusulkan oleh
para pemikir materialis kuno, dan mengandung makna pagan atau musyrik.
Sebenarnya, evolusi tidak terbatas pada budaya
Sumeria kuno maupun filsuf Yunani kuno saja, sebab evolusi juga membentuk
saripati berbagai sistem kepercayaan mutakhir yang besar, seperti
Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Dengan kata lain, evolusi tidak lebih
daripada sebuah teori, yang sepenuhnya bertentangan dengan keyakinan dalam
Islam.
Sebagian evolusionis Muslim, sekalipun
bertentangan dengan bukti ilmiah, menyatakan bahwa Al Qur’an mendukung apa yang
disebut-sebut sebagai “teori evolusi penciptaan”,
dan mencoba menemukan sumber evolusi di dunia Muslim. Mereka menyatakan bahwa
gagasan ini pertama kali muncul dari para pemikir Muslim dan, saat karya mereka
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, gagasan evolusionis timbul di dunia Barat.
Akan tetapi, beberapa contoh di atas jelas
mengungkapkan bahwa evolusi tidak lebih daripada sebuah kepercayaan kuno, yang
lahir di masyarakat kuno yang tak beragama. Sungguh suatu kesalahan besar
apabila kita mencoba membuktikan bahwa paham evolusionis, yang dibangun di atas
dasar kebendaan, bisa berasal dari kaum Muslimin, padahal sama sekali tidak ada
dasar ilmiah dan sejarah yang mendukung pernyataan itu.
Ketidaksengajaan Bertentangan
dengan Kebenaran Penciptaan
Mereka
yang berpendapat bahwa evolusi tidak bertentangan
dengan penciptaan, lupa akan satu hal penting: Orang seperti mereka percaya
bahwa pernyataan utama Darwinisme adalah, makhluk hidup muncul melalui
perubahan bertahap (evolusi) dari makhluk hidup lain. Akan tetapi, sebenarnya
bukan begitu, sebab kaum evolusionis menyatakan bahwa kehidupan muncul sebagai
hasil ketidaksengajaan, oleh pergerakan tak-sadar. Dengan kata lain, kehidupan
di Bumi lahir tanpa Sang Pencipta, dan dengan sendirinya, dari zat-zat
tak-hidup.
Pernyataan
seperti itu mengingkari keberadaan Sang Pencipta sedari awal, dan karena itu
tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, sebagian orang Muslim,
yang tidak menyadari kebenaran ini, tidak melihat adanya bahaya apabila
mendukung evolusi, berdasarkan anggapan bahwa Allah bisa saja menggunakan
perubahan bertahap (evolusi) dalam penciptaan makhluk hidup.
Namun,
mereka mengabaikan satu bahaya besar: walaupun mereka sedang mencoba
memperlihatkan bahwa evolusi tidak bertentangan dengan agama, nyatanya mereka
tengah mendukung dan menyetujui sebuah gagasan yang amat tidak mungkin dari
sudut pandang mereka sendiri. Sementara itu, kaum evolusionis berpura-pura
tidak melihat keadaan ini, karena hal ini membantu mereka mencapai tujuan,
yaitu agar masyarakat menerima gagasan mereka.
Melihat
masalah ini sebagai seorang Muslim yang taat, dan mempertimbangkannya dalam
petunjuk Al Qur’an, nyata-nyata bahwa teori yang berlandasan utama ketidaksengajaan
tidak memiliki kesamaan apa pun dengan Islam. Evolusi menganggap ketidaksengajaan,
waktu, dan zat tak-hidup sebagai tuhan, dan menyematkan gelar “pencipta” pada
makhluk-makhluk tak-sadar dan lemah ini. Tak seorang Muslim pun dapat menerima
teori berdasar pagan serupa itu, sebab setiap Muslim tahu bahwa Allah,
satu-satunya Sang Pencipta, yang menciptakan segalanya dari ketiadaan. Karena
itu, Muslim menggunakan ilmu pengetahuan dan nalar untuk membantah semua
kepercayaan dan gagasan yang bertentangan dengan fakta tersebut.
Evolusi adalah sebagian dari paham kebendaan (materialisme),
dan, menurut materialisme, alam semesta tidak berawal atau berakhir, sehingga
tidak memerlukan Sang Pencipta. Pemikiran anti-agama ini mengajukan bahwa alam
semesta, galaksi, bintang, planet, matahari, dan benda-benda langit lainnya,
beserta sistem dan keseimbangan yang sempurna tanpa cacat di dalamnya, adalah
hasil kebetulan (ketidaksengajaan). Dengan cara yang sama, teori evolusi
menyatakan bahwa protein yang pertama dan sel yang pertama (yaitu blok atau
satuan pembangun makhluk hidup) berkembang dengan sendirinya sebagai hasil
serangkai kebetulan yang buta. Menurut pemikiran ini juga, semua keajaiban
rancangan pada semua makhluk hidup, baik yang hidup di darat, di laut, atau di
udara, adalah hasil ketidaksengajaan. Walaupun dikepung bukti-bukti penciptaan,
dimulai dari rancangan pada tubuhnya sendiri, penganut teori evolusi bersikeras
menganggap bahwa segenap kesempurnaan itu dihasilkan ketidaksengajaan dan
proses tak sadar. Dengan kata lain, ciri utama mereka adalah menganggap ketidaksengajaan
sebagai tuhan, demi mengingkari keberadaan Allah. Akan tetapi, penolakan untuk
menerima atau melihat keberadaan dan keagungan Allah yang nyata ini, tidaklah
mengubah apa pun. Pengetahuan Allah yang tak berhingga, dan seni Allah yang tak
tertandingi, terungkap sendiri dalam apa pun yang diciptakanNya.
Kenyataannya, berbagai kemajuan ilmiah mutakhir
dengan gamblang menolak pernyataan-pernyataan tak berdasar evolusionis bahwa
kehidupan muncul dengan sendirinya dan melalui proses alamiah. Rancangan agung
pada makhluk hidup menunjukkan bahwa Sang Pencipta, yang memiliki kebijaksanaan
dan pengetahuan agung, yang menciptakan semua makhluk hidup. Fakta bahwa
organisme yang paling sederhana sekali pun ternyata adalah rumit tak
teruraikan, menempatkan setiap penganut teori evolusi dalam kebingungan yang
sangat, tanpa jalan keluar – sebuah kenyataan yang sering mereka akui sendiri!
Misalnya, matematikawan dan ahli astronomi Inggris yang tersohor, Fred Hoyle,
mengakui bahwa kehidupan tidak mungkin ditimbulkan oleh ketidaksengajaan:
Akan tetapi, sekali waktu
kita melihat bahwa besarnya kemungkinan makhluk hidup berawal secara acak
adalah begitu kecilnya, sampai-sampai menjadi mustahil …[10]
Evolusionis Pierre-Paul Grassé mengakui bahwa
anggapan sifat ketidaksengajaan memiliki daya cipta adalah murni khayalan:
Namun, teori Darwin bahkan
lebih sulit dipenuhi: sebatang tumbuhan, seekor hewan, mensyaratkan terjadinya
beribu-ribu peristiwa mujur yang tepat. Jadi, berbagai keajaiban menjadi biasa:
peristiwa dengan tingkat kemungkinan amat rendah tidak mungkin tidak
berlangsung … Tidak ada aturan yang melarang orang berangan-angan, namun dalam
ilmu pengetahuan hal itu tidak boleh berlebihan. [11]
Kata-kata itu membuat kebingungan pemikiran yang
dihadapi kaum evolusionis menjadi benar-benar jelas: Sekalipun mereka lihat
bahwa teori ini tak bisa dipertahankan dan tak ilmiah, mereka tak mau
melepaskannya karena obsesi pemikiran mereka. Dalam pernyataan lainnya, Hoyle
mengungkapkan mengapa kaum evolusionis yakin pada ketidaksengajaan:
Sungguh, teori itu (yakni
bahwa makhluk hidup dirancang oleh sebuah kecerdasan), sudah begitu jelasnya,
sehingga orang bertanya-tanya mengapa teori itu tidak diterima luas, karena
terbukti-benar dengan sendirinya. Sebabnya lebih berupa sebuah alasan kejiwaan
daripada ilmiah.[12]
Apa yang dilukiskan Hoyle sebagai alasan
“psikologis”atau kejiwaan telah menyiapkan kaum evolusionis untuk mengingkari
penciptaan. Semua alasan ini adalah bukti yang cukup bagi evolusionis Muslim,
untuk menganggap evolusi sebagai tidak lebih daripada sebuah teori yang
diciptakan untuk mengingkari Allah.
Seleksi Alam dan Mutasi Tidak Memiliki Daya
untuk Menyebabkan Perubahan Bertahap (Evolusi)
Kaum evolusionis Muslim, yang mengabaikan fakta
bahwa ilmu pengetahuan telah menggugurkan evolusi, juga menghadapi permasalahan
sulit lainnya: pernyataan bahwa 1,5 juta jenis makhluk hidup di alam muncul
sebagai akibat peristiwa alam yang tak-sadar.
Menurut para evolusionis, sel hidup pertama
terbentuk akibat berbagai reaksi kimia dalam zat tak-hidup. (Marilah kita ingat
bahwa cukup banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa hal ini tidak mungkin.
Lebih lagi, para peneliti yang melakukan percobaan menyatukan gas-gas penyusun
lapisan atmosfer awal Bumi, sekaligus berbagai keadaan lapisan atmosfer yang
sesuai, tidak mampu “menghasilkan” satuan blok pembangun kehidupan yang
terkecil sekali pun, yakni protein.[13]) Karena mereka gagal memunculkan organisme hidup, walaupun semua
pengetahuan dan teknologi tersedia bagi mereka, secara ilmiah adalah lebih tak masuk
akal lagi apabila dinyatakan bahwa ketidaksengajaan buta mampu menghasilkannya.
Evolusi juga menyatakan bahwa kehidupan berawal
dari sel pertama tersebut, yang tumbuh kian rumit, dan yang semakin lama
semakin kaya dan beragam, sampai manusia dihasilkan. Singkatnya, lanjut teori
itu, berbagai pergerakan tak-sadar di alam terus mengembangkan makhluk hidup.
Contohnya, satu bakteri mengandung kode genetik untuk sekitar 2.000 protein,
sementara manusia mengandung kode genetik untuk sekitar 200.000 protein. Dengan
kata lain, suatu pergerakan tak-sadar telah “menghasilkan” data genetik untuk
198.000 protein baru, seiring dengan berlalunya waktu.
Itu yang dinyatakan evolusi. Namun, benarkah alam
berisi mekanisme atau pergerakan yang dapat menambah data genetik pada suatu
makhluk hidup?
Teori evolusi modern –
juga dikenal sebagai neo-Darwinisme, yaitu versi perbaikan atas teori asli
Darwin, yang ikut memperhitungkan berbagai temuan terbaru dalam ilmu genetika –
mengusulkan dua mekanisme: seleksi alam dan mutasi.
Seleksi alam berarti bahwa makhluk yang kuat, dan
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan alam, akan memenangkan
pertarungan demi mempertahankan hidup, sementara yang lainnya tersisih dan
lenyap. Misalnya, penurunan suhu yang terus-menerus di suatu wilayah berarti
populasi hewan tertentu, yang tidak tahan terhadap suhu rendah, akan
terpangkas. Pada jangka panjang, hanya hewan yang tahan suhu dingin yang
bertahan hidup, dan akhirnya menjadi seluruh populasi.
Contoh lain, dalam kasus kelinci yang hidup
terus-menerus dalam ancaman hewan pemangsa, hanya yang terbaik menyesuaikan
diri dengan lingkup keadaan itu (misalnya, yang dapat berlari paling cepat),
bertahan hidup dan mewariskan ciri atau sifatnya kepada generasi berikutnya.
Akan tetapi, pemeriksaan seksama mengungkapkan bahwa tidak ada ciri baru yang
muncul di sini, karena kelinci ini tidak berubah menjadi jenis hewan atau
spesies yang baru, atau pun memperoleh sifat baru. Jadi, orang tidak dapat
berkata bahwa seleksi alam menyebabkan evolusi.
Karena itu, evolusionis hanya tinggal memiliki
mutasi. Agar pernyataan evolusi dapat diterima, mutasi harus mampu menambah
data genetik pada suatu makhluk hidup. Mutasi dijabarkan sebagai kesalahan
dalam gen makhluk hidup, yang terjadi akibat pengaruh luar (misalnya, radiasi
atau penyinaran,) atau pun akibat kesalahan penyalinan DNA. Tentu saja, mutasi
dapat menyebabkan perubahan, namun perubahan itu selalu merusak. Dengan kata
lain, mutasi tidak bisa mengembangkan makhluk hidup; bahkan sebaliknya, selalu
membahayakannya.
Genetika mencapai kemajuan besar selama abad
ke-20. Dengan mempelajari berbagai penyakit keturunan pada makhluk hidup,
berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang cepat, para ilmuwan memperlihatkan
bahwa mutasi bukanlah perubahan hayati yang dapat menyumbangkan sesuatu bagi
evolusi. Ini bertentangan dengan pernyataan evolusionis. Kemajuan-kemajuan
dalam genetika khususnya menghasilkan pengetahuan bahwa sekitar 4.500 penyakit
yang diduga sebagai penyakit keturunan sebenarnya disebabkan oleh mutasi.
Agar dapat diwariskan kepada keturunan, mutasi
harus terjadi pada organ perkembangbiakan (sel sperma pada lelaki, indung
telur pada perempuan). Hanya perubahan genetik jenis ini yang dapat
diwariskan kepada generasi berikutnya. Banyak penyakit keturunan disebabkan
justru oleh perubahan pada sel-sel tersebut. Mutasi, di sisi lain, terjadi di
organ tubuh lainnya (misalnya, hati atau otak), sehingga tidak bisa diwariskan
kepada generasi berikutnya. Mutasi yang demikian, disebut “somatik”,
menyebabkan banyak penyakit kanker melalui kemunduran dalam DNA sel.
Kanker merupakan salah satu contoh paling tepat
tentang kerusakan yang disebabkan oleh mutasi. Banyak faktor karsinogenik
(penyebab kanker), misalnya zat kimia dan sinar ultra-ungu, sebenarnya
menyebabkan mutasi. Setelah adanya temuan mutakhir tentang gen onkogenik
(pendorong kanker) dan gen pencegah tumor, yang apabila tidak bekerja dengan
benar, mampu menimbulkan kanker, para peneliti menyadari bagaimana mutasi
menyebabkan kanker. Kedua jenis gen ini penting bagi sel untuk memperbanyak
diri, serta bagi tubuh untuk memperbaharui diri. Jika salah satunya rusak
karena mutasi, sel-sel mulai tumbuh tak terkendali dan kanker pun mulai
terbentuk. Kita dapat membandingkan keadaan ini dengan pedal gas yang macet atau
rem yang blong pada sebuah mobil. Dalam kedua kasus tersebut, akan terjadi
tabrakan. Begitu pula, pertumbuhan sel yang tak terkendali akan menyebabkan
kanker, lalu kematian. Jika mutasi merusak gen-gen ini pada saat kelahiran,
seperti dalam kasus retinoblastoma (kanker sel mata), bayi yang terkena akan
segera meninggal dunia.
Kerusakan yang diakibatkan oleh mutasi pada
makhluk hidup tidak terbatas pada contoh-contoh ini saja. Hampir semua mutasi
yang dapat teramati sejauh ini bersifat merusak; hanya beberapa saja yang tidak
berpengaruh apa-apa. Walaupun demikian, kaum evolusionis, termasuk yang Muslim,
masih mencoba mempertahankan anggapan bahwa mutasi adalah mekanisme yang
berlaku dalam evolusi. Jika satu makhluk hidup memang berubah menjadi makhluk
hidup lain, sebagaimana dinyatakan kaum evolusionis, mestinya terjadi
berjuta-juta mutasi yang menguntungkan, dan terdapat pada semua sel benih dan
peranakan.
Ilmu
pengetahuan, seiring dengan kemajuan yang terus-menerus dicapainya, telah
menemukan berjuta-juta mutasi jahat, dan telah mengenali berbagai penyakit yang
diakibatkannya. Akan tetapi, teori evolusi menghadapi kebingungan yang
mengenaskan: para ilmuwan evolusionis tidak bisa menyebutkan satu pun mutasi
yang benar-benar menambah data genetik. Pierre Paul Grassé, seorang ahli
zoologi terkemuka Perancis, penyunting buku 35 jilid Traite de Zoologie,
dan mantan ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis, mengibaratkan mutasi dengan
huruf yang salah diketik saat menyalin naskah tertulis. Dan, sebagaimana huruf
salah ketik, mutasi tidak menambah keterangan; bahkan, merusak data yang sudah
ada. Grassé menyatakan fakta ini dengan cara berikut:
Mutasi, dalam sejarah,
terjadi secara acak. Mutasi tak saling melengkapi satu sama lain, tidak juga
bertambah pada generasi selanjutnya menuju arah tertentu. Mutasi mengubah apa
yang sudah menetap, namun secara kacau dan salah, walaupun bagaimana … Begitu
ada kekacauan, sekalipun kecil, timbul pada makhluk yang tersusun dan teratur,
maka penyakit, lalu kematian, pun mengikuti. Tidak ada jalan tengah yang bisa
tercipta antara gejala kehidupan dan kekacauan.[14]
Menimbang fakta ini, mutasi, sebagaimana
dijelaskan Grassé, “betapa pun banyaknya, tidaklah menghasilkan evolusi jenis
apa pun.” Kita dapat membandingkan akibat mutasi dengan gempa bumi. Sama
seperti gempa bumi, yang tidak membantu membangun atau memperbaiki sebuah kota
melainkan malah memorak-porandakannya, mutasi pun selalu berpengaruh buruk.
Dari sudut pandang ini, pernyataan evolusionis tentang mutasi adalah sepenuhnya
tanpa dasar. (Untuk
rincian, lihat The Evolution Deceit oleh Harun Yahya, Taha Publishers,
London, 1999).
Penelitian Fosil
Membuktikan Penciptaan
Melihat fakta-fakta di atas, kemajuan ilmiah menunjukkan bahwa seleksi
alam dan mutasi tidak berdaya evolusi. Karena tidak ada
mekanismenya, evolusi tidak mungkin pernah terjadi di masa lalu. Akan tetapi,
kaum evolusionis masih bersikeras bahwa semua makhluk berevolusi dari satu ke
lainnya, lewat proses yang lambat selama ratusan juta tahun. Kesalahan mereka
disembunyikan dalam jalan pikiran ini, karena jika skenario mereka memang
benar, makhluk tahap peralihan, yang tak terhitung banyaknya, dari rentang
waktu tersebut seharusnya sudah terbentuk. Lebih lagi, kita seharusnya
menemukan sisa-sisa fosilnya.
Pernyataan kaum evolusionis yang tak masuk akal
tampak mencolok dalam setiap perkara. Coba kita lihat perihal munculnya ikan,
yang dikatakan kaum evolusionis, berasal dari invertebrata (hewan tak bertulang
belakang), seperti bintang laut dan cacing laut. Jika pernyataan ini benar,
seharusnya ada contoh makhluk peralihan yang jumlahnya berlimpah ruah, demi
membolehkan terjadinya sebuah evolusi yang lamban. Dengan kata lain, kita
seharusnya dapat melihat sisa fosil dari berjenis-jenis hewan (spesies) yang
memiliki baik ciri-ciri ikan mau pun ciri-ciri invertebrata. Akan tetapi, walaupun
banyak fosil ikan dan invertebrata ditemukan para ilmuwan, tidak pernah ada
fosil makhluk peralihan, yang dapat membenarkan pernyataan evolusionis, yang
ditemukan. Ketiadaan demikian, pada gilirannya, berarti evolusi tidak
pernah terjadi. (Ternyata, ikan pertama di Bumi muncul di zaman geologis
yang sama dengan invertebrata rumit yang pertama dikenal. Fosil ikan berasal
dari 530 juta tahun yang lampau. [15] Pada saat itu, yang dikenal sebagai zaman Kambrium, semua kelompok utama
hewan invertebrata tiba-tiba muncul di Bumi.)
Walaupun sadar betul akan hal ini, kaum
evolusionis menggunakan cara seperti hasutan atau demagogi dan bukti palsu,
untuk membuat orang percaya pada evolusi.[16] Bahkan Darwin sendiri tahu bahwa catatan fosil tidak mendukung teorinya;
ia cuma berharap bahwa catatan itu akan semakin berlimpah seiring berlalunya
waktu, dan berbagai makhluk tahap peralihan akan ditemukan. Akan tetapi, kaum
evolusionis masa kini tidak lagi memiliki harapan seperti itu. Bahkan mereka
akui, catatan fosil begitu kaya dan sudah memadai untuk mengungkapkan sejarah
kehidupan. Prof N. Heribert Nillson, ahli botani evolusionis yang ternama
berkebangsaan Swedia dari Universitas Lund, mengatakan hal berikut tentang
catatan fosil:
Upaya
saya untuk menunjukkan peristiwa evolusi, melalui sebuah percobaan yang sudah
dilangsungkan selama lebih dari 40 tahun, sudah sepenuhnya gagal … Bahan fosil
kini sudah begitu lengkap, sehingga bahkan dapat disusun berbagai kelas
(makhluk hidup) baru, dan ketiadaan rangkaian makhluk tahap perantara tidak
bisa dijelaskan sebagai akibat kurangnya bahan (fosil). Kekosongan itu
memang ada, (dan) tidak akan pernah terisi. [17]
T.
Neville George, guru besar ilmu paleontologi Universitas Glasgow, menyatakan
bahwa sekalipun catatan fosil sangat berlimpah, bentuk peralihan yang sudah
lama dicari-cari belum juga ditemukan:
Tidak
perlu lagi meminta maaf atas kekurangan dalam catatan fosil. Dalam segi
tertentu, catatan fosil itu sudah demikian berlimpah, hampir tak terkelola, dan
kecepatan penemuan fosil sudah melebihi kecepatan penyusunannya … Meskipun
demikian, catatan fosil tetap saja masih lebih banyak terdiri atas celah dan
kesenjangan. [18]
Para
evolusionis bahkan melangkah terlalu jauh, sampai-sampai mengakui bahwa bukan
saja menyangkal evolusi, catatan fosil juga memberikan bukti ilmiah bagi
kebenaran penciptaan. Misalnya, evolusionis ahli paleontologi Mark Czarnecki
mengakui:
Masalah
besar dalam membuktikan teori ini ialah catatan fosil; jejak-jejak makhluk
hidup yang sudah punah, yang terawetkan dalam lapisan batuan Bumi. Catatan ini
tidak pernah mengungkapkan tanda-tanda adanya makhluk perantara yang diduga
Darwin – bahkan, berbagai jenis makhluk hidup muncul dan menghilang dengan tiba-tiba,
dan kejanggalan ini amat memperkuat paham penciptaan bahwa setiap
jenis makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan ... [19]
Seperti
telah kita lihat, kaum evolusionis menderita kekecewaan mengenaskan menyangkut
makhluk tahap perantara. Tidak ada satu pun penggalian di dunia ini yang telah
menghasilkan jejak adanya bentuk peralihan, sekalipun yang paling samar, sejak
Darwin kali pertama mengajukannya. Temuan itu semua adalah dari jenis yang
seakan bermaksud menghancurkan harapan kaum evolusionis, dan menunjukkan bahwa
makhluk hidup di Bumi muncul tiba-tiba, berkembang sempurna, dan tanpa cela.
Akan
tetapi, sekalipun mengetahui bahwa bentuk peralihan tidak pernah ada, para
ilmuwan evolusionis tak mau meninggalkan teori mereka. Mereka memberikan uraian
berprasangka tentang sejumlah fosil. Dalam karangannya In Search of Deep
Time, Henry Gee, anggota redaksi majalah termasyhur di dunia, Nature,
melukiskan seberapa ilmiah sebenarnya uraian-uraian tentang fosil semacam itu:
…
kita menyusun fosil-fosil dalam suatu urutan yang mencerminkan pemerolehan
bertahap dari apa saja yang kita lihat pada diri sendiri. Kita tidak mencari
kebenaran, kita menciptakannya setelah kejadian, untuk disesuaikan dengan
prasangka kita sendiri … Untuk mengambil sederet
fosil, dan menyatakan bahwa deretan itu melambangkan satu garis keturunan,
bukanlah sebuah dugaan (hipotesis) ilmiah yang dapat diuji, melainkan sebuah
pernyataan yang mengandung keabsahan setara dengan dongeng sebelum tidur –
menghibur, bahkan mungkin berisi pelajaran, namun tidak ilmiah. [20]
Itulah
sebabnya, mengapa mereka yang beriman kepada Allah tidak boleh teperdaya oleh
permainan kata dan kebohongan yang berjubah ilmiah. Salah besar, jika percaya
bahwa sekelompok orang, hanya karena mereka ilmuwan, pasti berkata benar dan
patut dipercaya. Ilmuwan evolusionis tidak punya rasa bersalah menyembunyikan
kebenaran, memelintir fakta ilmiah, dan bahkan membuat bukti-bukti palsu untuk
membela pemikiran mereka. Sejarah Darwinisme penuh dengan contoh semacam itu.
Bila
kita tinjau garis-garis besar Darwinisme yang paling dasar sekalipun, segera
terlihat ketidak-absahan dan landasannya yang lapuk habis. Bila kita periksa
rinciannya, keadaan ini semakin jelas. (Lihat The Evolution Deceit, Taha
Publishers, London, 1999 dan Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New
Delhi, 2003 untuk keterangan lebih lanjut.)
Berlawanan
dengan apa yang dinyatakan kaum evolusionis, kita melihat suatu perancangan dan
perencanaan agung dalam ciri semua makhluk hidup dan tak-hidup, ke mana pun
kita memandang. Itulah tanda bahwa Allah telah menciptakan semuanya. Kaum
evolusionis terus mengibarkan perlawanan sia-sianya, karena tidak ingin
menerima kenyataan ini. Sebagai penganut paham materialisme sejati, mereka
sedang mencoba menghidupkan kembali sesosok mayat.
Semua ini membawa ke hanya satu kesimpulan:
Darwinisme menyesatkan orang dari akal sehat, ilmu pengetahuan, dan kebenaran,
serta menggiring mereka ke arah ke cara berpikir tanpa akal sehat. Orang-orang
yang percaya kepada evolusi tak bersedia mengikuti jalur nalar dan ilmu
pengetahuan, dan termakan omong kosong penuh takhayul yang disampaikan
turun-temurun sejak tahun 1880-an saat Darwin masih hidup. Akhirnya, mereka
mulai percaya bahwa ketidaksengajaan atau kebetulan bisa memainkan peran
bersifat ilahiah, walaupun segenap alam semesta penuh dengan tanda-tanda
penciptaan. Cukup melihat satu saja mekanisme tanpa cacat di langit dan di
laut, pada tumbuhan dan hewan, untuk menyadari hal ini. Mengatakan bahwa semua
ini karya ketidaksengajaan merupakan pelecehan nalar, akal, dan ilmu
pengetahuan. Yang diperlukan adalah pengakuan atas kekuatan dan keagungan
Allah, dan setelah itu, penyerahan diri kepadaNya.
Keliru Jika Mengira Charles Darwin Taat Beragama
Sebagian besar kaum beragama yang mendukung teori
evolusi berpendapat bahwa Charles Darwin taat beragama. Akan tetapi, sungguh
mereka keliru, karena di masa hidupnya Charles Darwin mengungkapkan pandangan
buruknya tentang Tuhan dan agama.
Darwin memang percaya kepada Tuhan semasa mudanya,
namun perlahan imannya menipis dan digantikan oleh paham ateisme di saat
usianya setengah baya. Akan tetapi, tidak ia umumkan fakta ini, karena tidak
ingin memancing tentangan, khususnya dari istrinya yang taat, maupun dari
kerabat dekat dan lembaga agama. Dalam bukunya Darwin and the Darwinian
Revolution, ahli sejarah Darwinis Gertrude Himmelfarb menulis: “Karena itu,
gambaran menyeluruh tentang keingkaran Darwin [akan keberadaanTuhan] tidak
dapat diketahui pada karya maupun riwayat hidupnya yang diterbitkan,
namun terlihat hanya dalam versi asli riwayat hidup tersebut.” [21] Buku Himmelfarb juga mengungkapkan bahwa ketika putra Darwin, Francis,
hendak menerbitkan bukunya The Life and Letters of Charles Darwin, istri
Darwin, Emma, menentang sengit rencana itu, dan tidak hendak memberikan izin,
takut surat-surat itu menimbulkan heboh setelah kematian Darwin. Emma
memperingatkan puteranya untuk membuang bagian-bagian yang langsung mengacu ke
paham tak bertuhan (ateisme). Seluruh keluarga khawatir bahwa pernyataan
seperti itu akan menghancurkan nama harum Darwin. [22]
Menurut ahli biologi Ernst Mayr, pendiri
neo-Darwinisme; “Jelas bahwa Darwin kehilangan imannya di tahun 1836-1839,
sebagian besar nyata-nyata sebelum membaca Malthus. Agar tidak melukai perasaan
teman-teman dan istrinya, Darwin sering menggunakan bahasa ilahiah dalam
buku-bukunya, namun banyak bagian dalam buku catatannya yang menandakan,
saat itu ia telah menjadi seorang ‘materialis’.” [23]
Darwin
selalu memerhatikan tanggapan keluarganya, dan sepanjang hidupnya berhati-hati
menyembunyikan gagasannya tentang agama. Ia bertindak demikian, menurut
kata-katanya sendiri, karena:
Beberapa
tahun silam aku sungguh-sungguh dinasehati oleh seorang kawan agar jangan
pernah memasukkan apa-apa tentang agama dalam tulisan-tulisanku jika ingin memajukan
ilmu pengetahuan di Inggris; dan nasehat ini mendorongku untuk tidak
mempertimbangkan pembahasan yang terkait dengan kedua hal itu. Jika sebelumnya
kutahu bahwa dunia akan menjadi sedemikian bebas, mungkin seharusnya aku
bertindak lain. [24]
Sebagaimana
bisa kita lihat dari kalimat terakhir, jika sudah merasa yakin ia tidak akan
memancing tentangan, Darwin tidak akan sedemikian berhati-hati. Ketika Karl
Marx (1818-1883) mengusulkan untuk mempersembahkan Das Kapital
kepadanya, tegas Darwin menolak penghormatan itu dengan alasan beberapa anggota
keluarganya akan merasa sakit hati jika ia dikaitkan dengan buku ateistis
semacam itu. [25]
Akan
tetapi, kita masih bisa mengetahui sikap Darwin terhadap pokok dan kepercayaan
ruhani dan agama, dalam kata-kata kepada sepupunya ini: “Kupikir semua perasaan
manusia dapat ditelusuri sampai ke benihnya pada hewan.” [26]
Darwin
juga menentang pengajaran agama kepada anak-anak karena keyakinannya bahwa
mereka harus dibebaskan dari keyakinan agama[27]
Pandangan
anti-agama ini menurun ke kaum evolusionis masa kini seolah-olah sejenis
warisan. Sama seperti Darwin tidak ingin anak-anak belajar tentang Tuhan selagi
bersekolah, para evolusionis mutakhir menentang mati-matian pengajaran tentang
penciptaan di sekolah-sekolah. Mereka giat berusaha di seluruh dunia agar
penciptaan dikeluarkan dari kurikulum pendidikan.
Paham Tak Bertuhan yang Dianut Darwin
dan Upaya Menyembunyikannya
Darwin membuat pernyataan berikut tentang ketiadaan
imannya, “pengingkaran [kepada Tuhan] merayapi diriku dengan
pelan-pelan sekali, tetapi pada akhirnya menjadi sempurna …”[28]
Buku yang sama menggambarkan, bagaimana ayah
Darwin mengajaknya bicara secara diam-diam saat ia akan melangsungkan
pernikahan, dan menyarankan agar Darwin menyembunyikan keraguan imannya dari
istrinya. Akan tetapi, sejak semula Emma sadar akan iman Darwin yang terus
menipis. Ketika buku Darwin Descent of Man diterbitkan, Emma mengakui
kepada putrinya tentang pandangan anti-agama buku itu:
Dalam sepucuk surat yang ditulisnya pada tahun
1876, Darwin menyatakan bagaimana keyakinannya menipis:
… Kesimpulan ini (paham
bertuhan, atau teisme) kuat di benakku di sekitar saat, sejauh yang dapat
kuingat, kutulis “Origin of Species”; dan sejak itu secara perlahan, dengan
berkali-kali naik-turun, menipis…[30]
Pada saat yang sama, ia merasa aneh bahwa orang-orang
selainnya mesti memiliki kepercayaan agama, dan menyatakan bahwa manusia, yang
diyakininya berasal dari hewan tingkat rendah, tidak dapat meyakini kepercayaan-kepercayaan
itu:
Dapatkah pikiran manusia,
yang kuyakin sepenuhnya, berkembang dari pikiran serendah yang dimiliki hewan
terendah, dipercaya saat menarik kesimpulan agung seperti itu? [31]
Alasan dasar Darwin mengingkari adanya Tuhan
adalah keangkuhan. Kita dapat melihatnya dalam pernyataan berikut:
Dalam pengertian bahwa
sesosok Tuhan yang mahakuasa dan mahatahu harus mengatur dan mengetahui
segalanya, hal ini mesti diakui; namun, sejujur-jujurnya, aku hampir tidak bisa
mengakuinya. [32]
Dalam sebuah lampiran singkat yang ditulis tangan
pada kisah hidupnya, ia menulis:
Pernyataan Darwin, yang mengingkari keberadaan
Allah dan agama, sesungguhnya mengikuti sebuah pola pikir yang tak mengenal Allah
dari zaman kuno. Ayat Al Qur’an melukiskan bagaimana mereka yang mengingkari
Allah sesungguhnya menyadari bahwa Dia ada, namun masih juga mengingkariNya
karena keangkuhan:
Dan mereka mengingkarinya* karena kezaliman dan
kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka,
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS.An Naml,
27: 14)
*mukjizat-mukjizat Allah; lihat ayat ke-13.
Hal terpenting di sini adalah: keyakinan ateisme
Darwin adalah yang paling berpengaruh dalam pembentukan teorinya. Ia memelintir
fakta, pengamatan, dan bukti untuk mempertahankan prasangkanya bahwa kehidupan
tidak diciptakan. Saat membaca The Origin of Species, orang melihat
jelas, bagaimana Darwin bersusah-payah menolak semua bukti penciptaan
(misalnya, struktur makhluk hidup yang rumit, bagaimana catatan fosil mengarah
kepada kemunculan seketika, dan berbagai fakta yang menunjuk seberapa jauh
batas kemungkinan makhluk hidup di alam untuk dapat menjadi berbeda satu sama
lain), dan caranya menunda hal-hal yang tidak segera dapat dijelaskannya dengan
mengatakan: “Mungkin hal ini akan terpecahkan suatu hari di masa datang.”
Jika ia ilmuwan yang tak memihak, ia tidak akan menampakkan sikap taklid atau
dogmatis demikian. Gaya dan cara Darwin sendiri menunjukkan bahwa ia seorang
ateis yang memijakkan teorinya pada paham ateisme.
Ternyata, kaum yang tak mengenal Allah (ateis)
telah mendukung Darwin selama 150 tahun terakhir ini, dan berbagai paham pemikiran
anti-agama menyokong Darwin justru karena paham ateisme yang dianutnya. Oleh
sebab itu, dengan menimbang kenyataan ateisme Darwin, kaum Muslimin tidak boleh
keliru mengira ia orang yang taat beragama, atau setidaknya tidak menentang
agama, dan terus mendukungnya, teorinya, serta semua orang yang sepikiran
dengannya. Jika seorang Muslim melakukan hal itu, berarti ia menempatkan
dirinya bersama kaum ateis.
Darwinisme Menggiring Umat Manusia dari
Satu Bencana ke Bencana Lainnya
Di awal buku ini, telah kita lihat bagaimana kaum
evolusionis Muslim memandang Darwinisme sebagai sebuah kenyataan yang secara
ilmiah terbukti, dan mengabaikan wajahnya yang asli. Darwinisme, yang
memberikan dukungan “ilmiah” bagi paham fasisme dan komunisme, yakni paham
pemikiran paling bengis di abad ke-20, berwajah “asli”
yang bahkan lebih kelam.
Paham-paham pemikiran ini, yang mencapai puncak
kekerasannya pada abad lalu, bertanggung jawab atas revolusi komunis dan
tindakan kudeta fasis, juga pertarungan, pertikaian, perang saudara, dan
pembagian dunia menjadi dua blok. Diktator-diktator bengis seperti Lenin,
Stalin, Mao, Pol Pot, Hitler, Mussolini, dan Franco, semuanya meninggalkan
bekas yang menetap. Sekitar 120 juta orang tewas akibat kekejaman rejim-rejim
komunis saja, dan dua perang dunia saja telah meminta tumbal 65 juta jiwa.
Perang Dunia II, yang dimulai dengan serbuan Hitler ke Polandia di tahun 1939,
sungguh sebuah bencana bagi kemanusiaan. (Untuk rincian, lihat buku Harun Yahya, The
Disasters Darwinism Brought to Humanity, Al-Attique Publishers Inc.,
Ontario, 2001 dan Fascism: Bloody Ideology of Darwinism, Arastirma
Publishing, Istanbul, 2002).
Darwinisme terdapat pada akar pemikiran semua malapetaka politik,
ekonomi, dan akhlak ini, sebab ia memupuk dan memperkuat semua itu.
Paham Komunisme,
Fasisme, dan Darwinisme
Karl Marx dan Friedrich Engels, dua bapak pendiri komunisme,
menyebutkan dalam buku-buku mereka, betapa kuat pengaruh paham Darwinisme pada
mereka. Marx menunjukkan rasa simpatinya kepada Darwin, dengan menghadiahinya
salinan buku Das Kapital yang telah diberinya catatan pribadi. Terbitan
bahasa Jermannya bahkan berisi pesan yang ditulis dengan tangannya sendiri,
sebagai berikut: “Untuk Charles Darwin,
dari seorang pengagum sejati, dari Karl Marx.”
Begitu pentingnya Darwinisme bagi paham komunisme, sehingga segera
setelah buku Darwin diterbitkan, Engels menyurati Marx: “Darwin, yang baru saja kubaca, sungguh bagus.” [34]
Seorang komunis Rusia terkemuka, Georgi Valentinovich Plekhanov,
memandang paham Marxisme sebagai “Darwinisme dalam
penerapannya pada ilmu-ilmu sosial.” [35]
Guru pembimbing paham pemikiran Hitler yang terpenting, sejarawan
Jerman yang rasis Heinrich von Treitshcke, mengatakan: “Bangsa-bangsa tidak bisa makmur tanpa
persaingan ketat, seperti pertarungan demi mempertahankan hidup [gagasan] Darwin,” [36]yang menunjukkan
asal-muasal kekerasan pada akar-akar Nazisme. Hitler sendiri seorang Darwinis.
Memperoleh ilham dari gagasan “pertarungan demi bertahan hidup” yang dipakai
Darwin, ia memberi judul karyanya yang terkenal Mein Kampf
(Perjuanganku). Pada rapat umum partai di Nuremberg tahun 1933, Hitler
mengumandangkan bahwa: “Ras yang lebih tinggi
memperbudak ras yang lebih rendah … hak yang dapat kita lihat di alam, dan yang
dapat dianggap satu-satunya hak yang dapat terpikirkan, karena berdasarkan ilmu
pengetahuan.” Ini memperlihatkan betapa terpengaruhnya ia oleh Darwin. [37]
Mussolini, pemimpin fasisme Italia, juga menyukai Darwinisme sebagai
pandangan dunia, dan mencoba menggunakannya untuk membenarkan serbuan Italia ke
Etiopia. Franco, diktator Spanyol pada saat itu, juga menunjukkan pemikiran
Darwinis baik dalam teori maupun praktik. (Lihat Harun Yahya, Fascism:
Bloody Ideology of Darwinism, Arastirma Publishing, Istanbul, 2002).
Dengan mengatakan bahwa hidup adalah sebuah pertarungan yang
ditakdirkan untuk dimenangi oleh si kuat, dan si lemah terkutuk untuk kalah,
Darwin membuka jalan bagi kekuatan biadab, kekerasan, perang, pertikaian, dan
pembantaian pada skala besar. Diktator-diktator yang menindas rakyat, di
negerinya sendiri atau di mancanegara, begitu diilhami oleh Darwinisme sehingga
mereka mematut diri dengan ajaran-ajarannya. Dalam pandangan mereka, hukum alam
menghendaki si lemah dihancurkan dan dimusnahkan, dan manusia tidak mesti
memiliki nilai bawaan apa pun, karena ia berasal dari hewan.
Membela Darwinisme Mempermudah
Penyebaran Paham Komunisme
Komunisme merupakan suatu paham pemikiran yang
bersikap bermusuhan, baik dalam segi dasarnya yang berupa filsafat materialis, maupun
telaah sejarah yang disajikannya. Pemikiran ini mulai dengan mengingkari
keberadaan Allah, dan telaah sejarahnya, yang melukiskan agama sebagai “candu
masyarakat”, menyerukan pembasmian agama untuk menegakkan masyarakat komunis
yang diidamkannya.
Karena itu, semua rejim komunis memerangi agama,
menyerang nilai-nilai keagamaan, menghancurkan berbagai tempat ibadah, dan
melarang pelaksanaan kewajiban agama. Rejim di negara-negara seperti bekas Uni
Soviet, Cina, Kamboja, Bulgaria, dan Albania telah mengikuti kebijakan yang
begitu anti-agama sampai-sampai merapat ke batas, dan kadang sampai, ke
pemusnahan ras (genosida).
Darwinisme memainkan peran penting dalam paham
Marxisme tentang kebencian terhadap agama. Darwin menyumbangkan bagi paham
ateisme Marxis, apa yang disebut-sebut sebagai dasar ilmiah, yang menjelaskan
sebab Marx dan Engels merasa amat berterima kasih kepadanya. Pujian Engels
terutama mencolok:
“Ia (Darwin) melontarkan
pukulan paling telak kepada gagasan alam yang bersifat metafisis, dengan
buktinya bahwa semua makhluk organik, tumbuhan, hewan, dan manusia sendiri,
merupakan hasil proses evolusi yang berlangsung jutaan tahun.” [38]
Pertikaian terletak pada inti filsafat Marxis
(materialisme dialektik), yang menyatakan bahwa alam semesta bekerja menurut
hukum benturan antar-lawan. Dengan kata lain, pertarungan demi bertahan hidup
di alam yang dinyatakan Darwin kini diterapkan pada masyarakat manusia.
Darwinisme adalah dukungan terbesar bagi pemikiran komunisme, yang memandang
sejarah manusia sebagai medan perang dan menyiapkan lahan bagi pertikaian lebih
lanjut.
Evolusionis PJ Darlington menjelaskan bahwa
kekerasan adalah akibat alamiah dari kepercayaan pada teori ini:
Pertama, pementingan diri
sendiri dan kekerasan adalah sifat bawaan dalam diri kita, diwarisi dari moyang
hewan kita yang paling tua … Karena itu, kekerasan adalah alamiah pada manusia;
sebuah hasil evolusi. [39]
Kaum Marxis percaya bahwa masyarakat akan menerima
paham pemikiran mereka, jika mereka membawa masyarakat agar percaya pada
Darwinisme. Mereka begitu mementingkan prinsip Darwin bahwa “kekerasan dan
pertikaian merupakan hukum alam yang tak berubah.” Inilah sebabnya, semua
organisasi teroris berhaluan komunis memberikan pelatihan berbulan-bulan
tentang komunisme, materialisme dialektik, dan Darwinisme kepada para anggota
setianya. Teori Darwin mendorong mereka agar percaya bahwa mereka sebenarnya
hewan, dan bahwa seperti hewan, manusia harus bertarung demi bertahan hidup.
Jadi, banyak pemuda menjadi makhluk mengerikan, yang amat mampu membunuh dan
bahkan menjagal dengan kejam anak-anak dan bayi.
Dengan cara ini, pemikiran komunis menyebabkan
perang gerilya, perang saudara, dan tindakan terorisme berdarah di banyak
negara sepanjang abad ke-20. Itulah sebabnya perang pemikiran melawan paham
Darwinisme adalah begitu penting: Jika Darwinisme tersingkap sebagai gagasan
sesat sebagaimana adanya dan lalu runtuh, filsafat-filsafat Marxis yang
berdasar Darwinisme akan hancur. Karena Darwinisme berperan begitu penting
dalam pemikiran anti-agama komunis, maka mendukung yang satu sama dengan
mendukung yang lain. Mencoba membenarkan Darwinisme, dengan cara
menyelaraskannya dengan agama, dan menyatakan Allah menggunakan evolusi untuk
menciptakan makhluk hidup, adalah sama dengan membenarkan komunisme. Kaum komunis
tahu bahwa agama dan Darwinisme saling bertentangan, namun berdiam diri saat
menghadapi orang beriman yang menyetujui gagasan penciptaan melalui evolusi,
agar kedua paham tersebut dapat menyebar dengan mudah dan semakin jauh. Yang
penting adalah membuka dulu pintu menuju diterimanya Darwinisme.
Kepercayaan komunis pada evolusi berasal dari
taklid pemikiran mereka. Misalnya, seorang evolusionis guru besar kimia dan
pakar DNA, Robert Shapiro, berkata bahwa pernyataan dasar teori ini (yaitu, zat
tak-hidup mengatur dan menyusun diri serta membentuk DNA dan RNA) tidak
berlandaskan fakta ilmiah sama sekali. Ia melanjutkan:
Karena itu, sebuah prinsip
evolusi lain harus ada untuk membawa kita menyeberangi jurang yang membentang
di antara adonan kimia alamiah yang sederhana dengan pengganda (replikator)
pertama yang berfungsi. Prinsip ini belum dijelaskan secara rinci atau
dipertunjukkan, namun sudah diperkirakan, dan disebut dengan nama-nama seperti
evolusi kimiawi dan penyusunan materi secara mandiri. Keberadaan prinsip ini diterima
tanpa pertanyaan dalam filsafat materialisme dialektik…[40]
Sebagaimana telah dinyatakan Shapiro, kaum
evolusionis terus membela teori evolusi karena kepatuhan buta kepada filsafat materialis.
Ini menandakan bahwa dukungan apa pun bagi teori ini merupakan juga dukungan
langsung bagi filsafat materialis, yang penyebarannya akhirnya pasti menyiapkan
lahan pijakan bagi masuknya paham komunis ke dalam masyarakat. Kaitan ini
mengungkapkan bagaimana paham komunis memperoleh kekuatannya dari paham Darwinisme.
Kaum Muslimin yang mendukung teori evolusi perlu
memikirkan kebenaran ini. Seorang Muslim tidak boleh berbagi sudut pandang
dengan kaum komunis, yang telah dan terus menjadi musuh agama yang paling
sengit, dan/atau mendukung sebuah pandangan yang merupakan dasar “ilmiah” bagi
paham komunisme. Hal ini semakin penting jika kita menimbang bahwa komunisme
belum mati, tetapi masih bertahan dalam rejim-rejim tangan besi seperti Korea
Utara, dan, yang paling berbahaya, masih menguasai sistem dan budaya politis
negeri Cina, sekalipun pandangannya seolah-olah “kapitalis”.
Rasisme Darwin
Salah satu segi terpenting namun paling sedikit
diketahui tentang Darwin adalah rasismenya: Darwin menganggap orang kulit putih
Eropa lebih “maju” daripada ras manusia lainnya. Karena beranggapan
bahwa manusia berevolusi dari makhluk serupa kera, ia berkesimpulan bahwa ada
beberapa ras yang lebih berkembang daripada ras-ras yang lain, dan ras-ras yang
lain itu masih memiliki sifat-sifat kera. Dalam bukunya The Descent of Man,
yang ia terbitkan setelah The Origin of Species, dengan terus terang
Darwin menguraikan “perbedaan besar di antara manusia dari ras-ras yang
berlainan.” [41]Dalam bukunya, Darwin
berpendapat orang kulit hitam dan Aborigin Australia adalah setara dengan
gorila, dan menyimpulkan bahwa keduanya, pada saatnya, akan “disingkirkan” oleh
“ras-ras beradab”. Ia mengatakan:
Suatu saat nanti, tidak terlalu lama sampai ukuran abad, ras-ras
manusia yang beradab hampir pasti akan memusnahkan dan menggantikan ras-ras
biadab di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kera-kera antropomorf (mendekati
manusia) …. pasti akan punah. Jarak antara manusia dan padanan-padanan
terdekatnya akan lebih lebar, karena hal tersebut akan terjadi dalam keadaan
lebih beradab sebagaimana bisa kita harapkan, bahkan daripada jarak orang
Kaukasia dan beberapa jenis kera serendah babon, tidak seperti sekarang, antara
negro atau pribumi Australia dan gorila. [42]
Gagasan-gagasan Darwin yang tak masuk akal bukan hanya diteorikan,
melainkan juga dianugerahi derajat kehormatan ilmiah dan sosial, yang
memungkinkan semua gagasan itu memberikan “landasan ilmiah” terpenting bagi
paham rasisme. Dengan menganggap makhluk hidup berevolusi dalam pertarungan
demi bertahan hidup, Darwinisme langsung diterapkan dalam ilmu sosial. Disebut
dengan “Darwinisme Sosial”, pemikiran baru ini berpendapat bahwa ras manusia
yang ada saat ini menempati tingkat yang berbeda pada “tangga evolusi”, bahwa
ras Eropa adalah yang paling “maju”, dan bahwa banyak ras lainnya masih memiliki
ciri dan sifat “mirip kera”.
Lebih jauh, Darwinisme tidak berhenti dengan menyediakan landasan bagi
serangan rasis, namun juga membolehkan segala jenis tindakan pemberontakan dan
perusakan. Prinsip “hidup itu pertarungan” ini telah menciptakan pendapat yang
membenarkan penempatan bangsa lain, yang hidup damai di satu negeri yang sama,
ke pusat-pusat penawanan, maupun penggunaan kekerasan dan kekuatan biadab,
perang, maut, dan pembunuhan.
Akan tetapi, Muslim yang menyadari bahwa Allah telah menciptakan dirinya
dan segala yang lain, bahwa Allah telah meniupkan ruhNya ke dalam dirinya,
bahwa dunia adalah tempat bagi kedamaian dan persaudaraan, bahwa semua orang
adalah setara, dan bahwa tiap orang akan diadili di hari kemudian atas semua
perbuatannya di dunia, tak mungkin menganiaya orang lain. Hanya mereka yang
percaya bahwa mereka terwujud oleh ketidaksengajaan, tidak bertanggung jawab
kepada siapa pun, tidak pernah harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan
percaya bahwa dunia adalah tempat bagi pertikaian, yang bisa melakukan tindakan
demikian.
Itulah sebabnya, seorang Muslim harus menyimak nuraninya, sebelum
menerima Darwinisme, dan apa sebabnya ia harus mengerti harga sesungguhnya jika
ia mendukung sebuah teori yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan sendiri.
Kerusakan yang diperbuat Darwinisme atas kemanusiaan sungguh nyata. Kepedihan,
penderitaan, dan pertikaian yang dibawanya sudah begitu dikenal. Seperti telah
kita lihat di sepanjang bab ini, cara orang dibuat agar percaya kepada gagasan
dan pemikiran yang jau dari nalar dan tak masuk akal ini, seharusnya meyakinkan
kita bahwa Darwinisme adalah suatu bahaya besar.
BAB III
ILMU PENGETAHUAN TENTANG
CIPTAAN ALLAH
Sejauh ini, kita telah meneliti kekeliruan besar
yang dibuat para evolusionis Muslim, yang menerima pernyataan bahwa Allah
menggunakan evolusi untuk menciptakan makhluk hidup. Tidak seperti para
evolusionis lain, mereka tidak langsung mengatakan bahwa kehidupan muncul tanpa
sengaja. Akan tetapi, dengan menyatakan bahwa Allah menggunakan evolusi dalam
penciptaan olehNya, mereka suka rela maupun tidak mendukung Darwinisme dalam
beberapa hal. Menurut sudut pandang mereka yang keliru, Allah pasti telah
menggunakan mekanisme evolusi, seperti mutasi dan seleksi alam.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan telah membuktikan
bahwa baik seleksi alam maupun mutasi tidak dapat menciptakan makhluk hidup
baru. Dengan kata lain, keduanya tidak berdaya evolusi. Mereka yang mendukung
gagasan penciptaan lewat evolusi berpendapat bahwa Allah menggunakan mutasi
untuk mengubah data genetis makhluk hidup, sehingga makhluk itu bisa memperoleh
organ yang berguna, atau bahwa pertama kali Allah menciptakan makhluk-makhluk
purba dan lalu menggunakan seleksi alam untuk mengubahnya menjadi makhluk yang
lebih rumit dan menyempurnakannya. Dengan kata lain, Ia menggunakan seleksi
alam untuk menambahkan organ baru, membiarkan organ yang ada melemah dan
berhenti tumbuh, atau bahkan meniadakannya agar satu makhluk hidup dapat
berubah menjadi makhluk hidup lain.
Adalah wajar bagi orang-orang yang tidak
mengetahui perkembangan ilmiah mutakhir untuk beranggapan semacam itu,
khususnya jika mereka ingin mendukung evolusi. Akan tetapi, pernyataan semacam
itu bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah. Lebih lagi, sebagaimana akan kita
lihat, Al Qur’an tidak menyebutkan hal yang demikian.
Satu hal yang harus ditegaskan: Allah tentu saja
bisa menggunakan evolusi untuk menciptakan makhluk hidup jika Dia kehendaki.
Namun, Al Qur’an tidak berisi tanda-tanda evolusi dan tidak satu ayat pun
mendukung pernyataan evolusionis bahwa makhluk hidup muncul tahap-demi-tahap.
Ilmu pengetahuan juga mengungkapkan kebohongan pernyataan itu. Karena
keadaannya sudah teramat jelas, tidak ada peluang bagi Muslim untuk membenarkan
dukungannya pada pernyataan itu. Alasan yang memungkinkan terjadinya kekeliruan
seperti itu hanyalah kekurangan informasi, rasa rendah diri saat menghadapi
kaum evolusionis, dan kepercayaan bahwa karena jumlah pendukung evolusi lebih
besar, mereka pastilah benar.
Allah Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan
Allah menciptakan segalanya, dalam bentuk dan pada
waktu yang Dia tetapkan, tanpa menggunakan contoh apa pun, dan dari ketiadaan.
Karena Dia suci dari cacat apa pun, dan kaya tanpa membutuhkan apa pun, Dia
tidak membutuhkan penyebab, sarana, atau tahap bagi penciptaan olehNya. Tak
seorang pun yang boleh teperdaya oleh kenyataan bahwa segala sesuatu itu
terkait dengan sebab dan hukum alam tertentu. Namun, Allah adalah di atas semua
sebab dan hukum, karena Dia yang menciptakan itu semua.
Allah, Tuhan Bumi dan langit, bisa saja
melenyapkan semua sebab ini jika Dia kehendaki. Misalnya, Dia dapat menciptakan
manusia yang tidak memerlukan oksigen untuk hidup, dan akibatnya, tidak
memerlukan paru-paru. Menimbang hal ini, mengapa “perlu” Dia menyempurnakan
paru-paru, dengan cara membuatnya berevolusi seiring dengan waktu, atau pun
melalui mekanisme lainnya? Karena itu, sepenuhnya keliru apabila seseorang
menganggap bahwa keagungan dan kekuatan Allah dibatasi oleh nalar dan
perasaannya sendiri. Kita dapat memiliki pengetahuan hanya sebatas yang Dia
izinkan.
Allah dapat menggunakan tahap-tahap tertentu dalam
penciptaan olehNya jika Dia kehendaki. Misalnya, Dia mengeluarkan tumbuhan dari
sebutir benih, atau seorang manusia dari pertemuan sel mani dengan sel telur.
Namun tahap-tahap ini, sebagaimana akan kita lihat nanti, sama sekali tidak
berkaitan dengan evolusi, dan tidak memberikan tempat bagi ketidaksengajaan dan
kebetulan. Setiap tahap dalam merekahnya tumbuhan, atau berubahnya satu sel
menjadi seorang manusia “dalam bentuk yang sebaik-sebaiknya”, terjadi berkat
sistem sempurna yang diciptakan oleh kekuasaanNya yang tak terhingga.
Allah menghendaki dan menciptakan Bumi dan langit,
semua yang berada di antara keduanya, dan semua makhluk hidup dan tak-hidup.
Ini sangat mudah bagiNya, sebagaimana ditunjukkan dalam Al Qur’an:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.
Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu
terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup.
Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, maka
jadilah ia. (QS. An Nahl, 16: 40)
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka
apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”,
maka jadilah ia. (QS. Al Mu’min, 40: 68)
Penciptaan itu mudah bagi Allah. Sebagaimana
diungkapkan ayat-ayat di atas, Dia hanya perlu berfirman “Jadilah!”, dan dengan
begitu menghendaki sesuatu terjadi demikian. Banyak ayat mengungkapkan bahwa Dia
menciptakan alam semesta dan makhluk hidup dalam bentuk yang sempurna.
Kekeliruan besar bagi Muslim, jika menuruti penjelasan yang dipaksakan di
hadapan kebenaran yang sudah terang ini, dan membuat pernyataan yang seolah
benar bahwa Allah memanfaatkan evolusi untuk menciptakan serta menggunakan
mutasi, seleksi alam, dan tahap-tahap peralihan dari kera ke manusia. Sangat
keliru memberikan uraian seperti itu, demi harapan diterima di kalangan
evolusionis, sebab tiada bukti baik dalam Al Qur’an maupun ilmu pengetahuan.
Allah membuat semua hukum di alam semesta, dan
memberi hukum-hukum itu bentuk yang Dia pilihkan, mewujudkan apa yang Dia
kehendaki dan ketika Dia kehendaki, meliputi segala apa yang ada di Bumi dan di
langit, dan mengatur segalanya dengan kekuasaanNya. Namun, sebagian orang tidak
betul-betul memahami kekuatanNya, sehingga menilaiNya berdasarkan kekuatan
sendiri yang terbatas. Allah mengungkapkan keberadaan mereka dalam Al Qur’an:
Dan mereka tidak menghormati
Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” … (QS. Al An’aam, 6: 91)
Mereka tidak mengenl Allah dengan
sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.
(QS. Al Hajj, 22: 74)
Dan mereka tidak mengagungkan
Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Tuhan
dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az Zumar, 39: 67)
Berlawanan
dengan apa yang diajukan oleh mereka yang percaya pada penciptaan lewat
evolusi, Allah tidak menciptakan kera dahulu, lalu menyebabkan kera berevolusi
menjadi manusia melalui bentuk-bentuk peralihan yang cacat dengan alat tubuh
yang kurang. Melainkan, sebagaimana diungkapkan Al Qur’an, Allah menciptakan
manusia dalam cara yang paling sempurna:
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. At Tiin, 95: 4)
Dia menciptakan langit dan bumi
dengan (tujuan) yang benar. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu,
dan hanya kepada-Nya-lah kembali (mu). (QS. At Taghaabun, 64: 3)
Ayat-ayat
di atas merupakan sebagian bukti bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk
sempurna, dengan kata lain, bentuk manusia sekarang. Tentu saja, manusia juga
memiliki sejumlah cacat dan kelemahan, semua itu mengingatkannya akan
kekurangannya di hadapan Tuhannya. Kelainan bentuk dan cacat tubuh adalah bukti
penciptaan yang bertujuan, sebab semua itu berguna sebagai pengingat bagi
mereka yang melihatnya, dan sebagai ujian bagi yang menyandangnya.
Sebagai bentuk dan jenis, Allah menciptakan semua
makhluk hidup dengan seketika dan sempurna, tanpa memerlukan evolusi sama
sekali. Kebenaran nyata ini diungkapkan Al Qur’an:
Dia-lah Allah Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling
Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah yang
Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Hasyr, 59: 24)
Al Qur’an melukiskan betapa mudah penciptaan itu
bagi Allah:
Dan tidakkah Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka
yang diganti sesudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta
lagi Maha Mengetahui. (QS.Yaa Siin, 36: 81)
Tidaklah Allah menciptakan dan
membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu, melainkan hanyalah seperti
(menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Luqman, 31: 28)
Hal penting lain yang terabaikan oleh mereka yang
percaya pada penciptaan evolusi, adalah keragaman bentuk ciptaan Allah. Allah
telah mengadakan makhluk hidup yang jauh berbeda dari manusia dan hewan,
misalnya malaikat dan jin. Masalah ini akan dibahas di halaman-halaman berikut.
Malaikat Bersayap Dua, Tiga, dan Empat
Malaikat adalah makhluk yang selalu mematuhi perintah
Allah. Al Qur’an melukiskan penciptaannya sebagai berikut:
Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga
dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Faathir, 35: 1)
Sebagaimana dapat kita lihat dari penggambaran di atas,
bentuk malaikat jauh berbeda dengan manusia. Allah memerintahkan agar
memerhatikan bentuk-bentuk ciptaan yang berbeda dalam ayat di atas.
Ayat-ayat juga menunjukkan bagaimana malaikat tunduk kepada
perintah Allah dan menaatiNya:
Dan kepada Allah sajalah bersujud
segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan
(juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka
takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka). (QS. An Nahl, 16: 49-50)
Al Masih sekali kali tidak enggan
menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang
terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. (QS.
An Nisaa’, 4: 172)
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim, 66: 6)
Selain itu, malaikat diciptakan sebelum manusia. Ternyata,
Allah memberitahu para malaikat ketika Dia akan menciptakan Adam, manusia
pertama, dan memerintahkan mereka bersujud kepadanya.
Pada saat yang sama, Allah memberi Nabi Adam AS,
pengetahuan yang berbeda dengan yang dimiliki para malaikat, dan mengajarkannya
nama-nama benda. Para malaikat tidak memiliki pengetahuan itu. Seperti
dinyatakan Al Qur’an:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar.” Mereka menjawab: “Mahasuci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah
berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
“Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
“Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka, sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al Baqarah,
2: 30-34)
Jin Diciptakan dari Api
Seperti malaikat, penampilan jin juga berbeda dari manusia.
Ayat-ayat di bawah ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat,
sementara jin diciptakan dari api:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari
api yang sangat panas. (QS. Al Hijr, 15: 26-27)
Dia menciptakan manusia dari
tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api. (QS. Ar
Rahmaan, 55: 14-15)
Dalam Al Qur’an, Allah juga mengungkapkan tujuanNya
menciptakan manusia dan jin:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat, 51: 56)
Jelas dari ayat ini bahwa, walaupun manusia dan jin adalah
makhluk yang amat berbeda, keduanya diciptakan untuk menyembah hanya Allah,
dengan menjalani hidup menggunakan nilai-nilai yang Dia perintahkan. Dia telah
mengungkapkan dalam banyak ayat bahwa malaikat dan jin memiliki sejumlah sifat
yang berbeda dari sifat manusia. Misalnya, keduanya dapat memindahkan benda:
Berkata Sulaiman: “Hai
pembesar-pembesar. Siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa
singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri.” Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya (dan) dapat
dipercaya.” (QS. An Naml, 27: 38-39)
Al Qur’an juga menyatakan bahwa jin, sama seperti
malaikat, juga diciptakan sebelum manusia. Ketika menciptakan Nabi Adam AS,
Allah memerintahkan malaikat dan jin bersujud di hadapan Adam. Setelah itu, Dia
mengungkapkan bahwa Setan adalah salah satu jin:
Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah
mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai
perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai
pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis
itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS. Al Kahfi, 18:
50)
Penciptaan itu masalah mudah bagi Allah, yang
dapat menciptakan dari ketiadaan dan tanpa sebab apa pun. Sama seperti Dia
menciptakan malaikat dan jin dalam bentuk-bentuk yang berbeda dari ketiadaan, Dia
juga menciptakan manusia sebagai makhluk yang berbeda dari ketiadaan dan tanpa
perlu evolusi. Hal serupa berlaku untuk makhluk hidup lainnya, seperti hewan
dan tumbuhan. Allah menciptakan semua makhluk hidup ini seketika dari ketiadaan
dan tanpa perlu berevolusi – dengan kata lain, tanpa mengubah satu makhluk
hidup menjadi makhluk hidup lain. Seperti kita lihat sebelumnya, tahap-tahap
yang digunakan Allah dalam penciptaan ini, yang telah disebutkan di muka, tidak
berhubungan dengan ketidaksengajaan atau peristiwa acak evolusionis, karena
masing-masing adalah hasil sistem tanpa cela yang dimunculkan kekuasaan dan
kedaulatan Allah.
Bagaimana Burung yang Dibuat dari
Tanah oleh Nabi Isa Menjadi Hidup
Allah menganugerahi Nabi Isa AS dengan sifat-sifat
metafisik dalam kehidupan di dunia ini, sebagaimana terbaca dalam: … Al Masih ‘Isa putera
Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang
didekatkan (kepada Allah). (QS. Ali ‘Imran, 3: 45) Beliau
datang ke dunia tanpa bapak, berbicara selagi masih dalam buaian, dan menyembuhkan
orang yang sakit secara ajaib.
Lebih lagi, ketika Nabi Isa AS membuat sebuah
benda dari tanah liat berbentuk burung, dan meniupnya, burung itu menjadi hidup
atas izin Allah. Kenyataan ini dituturkan dalam Al Qur’an:
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani
Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu
dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk
kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah …” (QS. Ali ‘Imran, 3: 49)
(Ingatlah), ketika Allah
mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada
ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. Kamu dapat berbicara
dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa: dan (ingatlah)
di waktu Aku mengajar kamu menulis, Hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah
pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan seizin-Ku …” (QS. Al Maa-idah, 5: 110)
Allah dapat seketika menciptakan makhluk hidup
dengan cara demikian. Ini salah satu keajaiban dariNya, dan kebenaran penting
yang tidak boleh diabaikan oleh kaum Muslimin yang mendukung teori evolusi.
Contoh serupa menyangkut Nabi Ibrahim AS, dan
mengungkapkan bagaimana Allah menganugerahi zat tak-hidup dengan kehidupan:
Dan ( ingatlah ) ketika Ibrahim
berkata : “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku
telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah
berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkanlah di atas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2: 260)
Bagaimana Istri Nabi Zakaria yang
Mandul Memperoleh Anak
Satu contoh penciptaan yang ajaib adalah tentang kabar
gembira yang diterima Nabi Zakaria AS bahwa istri beliau yang mandul akan
melahirkan seorang anak:
Hai Zakaria, sesungguhnya Kami
memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.
Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku
adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur
yang sangat tua.” Tuhan berfirman: “Demikianlah.” … (QS. Maryam, 19: 7-9)
Seperti diungkapkan ayat-ayat di atas, penciptaan
adalah masalah yang mudah bagi Allah, yang tidak memerlukan adanya penyebab apa
pun untuk menciptakan. Dia menganugerahi Nabi ini dengan seorang putera, dan
dengan memerintahkan bahwa hal itu harus “Jadilah!”, istri sang Nabi seketika
hamil. Tuhan kita mengungkapkannya dalam lanjutan ayat itu:
… Tuhan berfirman: “Hal itu
adalah mudah bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu,
padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam, 19: 9)
Berbagai Contoh Pembangkitan
Kembali dalam Al Qur’an
Penciptaan dan pembangkitan kembali adalah
sepenuhnya di tangan Allah, dan, sama halnya dengan penciptaan, Dia tidak
memerlukan penyebab luar dalam hal pembangkitan. Ada banyak contoh pembangkitan
dalam Al Qur’an.
Al Qur’an mengungkapkan bahwa setelah mati dan
dikuburkan, manusia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat:
Itulah balasan bagi mereka,
karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka)
berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang
hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk
baru?” Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan
langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan
telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada keraguan
padanya? Maka, orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran. (QS.
Al Israa’, 17: 98-99)
Sebagaimana telah kita lihat, kaum tak beriman
tidak percaya bahwa manusia akan diciptakan kembali setelah mati dan menyatu
dengan tanah. Contoh ini menyatakan secara ringkas keadaan yang berkaitan dengan
teori evolusi. Tuhan kita, Yang akan membentuk kembali tubuh-tubuh manusia dari
ketiadaan pada Hari Kiamat, juga menciptakan manusia pertama, Nabi Adam, dari
ketiadaan. Ayat-ayat ini sangat penting bagi mereka yang percaya pada Al Qur’an,
namun tetap bersikeras untuk percaya gagasan-gagasan evolusionis.
Dalam kata-kata: ”Dan sesungguhnya kamu datang
kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya,
dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan
kepadamu (QS. Al An’aam, 6: 94), Al
Qur’an mengacu kepada pembangkitan manusia di Hari Kiamat. Al Qur’an membuat
jelas bahwa penciptaan ini akan sama dengan “penciptaan yang pertama”.
Setiap orang, yang sudah mati dan menyatu dengan tanah, akan dilahirkan kembali
melalui suatu penciptaan ulang di hari kemudian, dan berbentuk manusia. Itulah
sebabnya, penciptaan manusia pertama menyerupai penciptaan itu, dan terjadi
tidak setahap demi setahap, namun seketika dan dalam cara yang ajaib.
Ada banyak contoh pembangkitan dalam Al Qur’an. Misalnya,
Allah mengizinkan umat Nabi Musa AS untuk mengalaminya, saat Dia mematikan
mereka, dan lalu menghidupkan mereka kembali. Ini dijelaskan Al Qur’an sebagai
berikut:
Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu
menyaksikannya. Setelah itu, Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya
kamu bersyukur. (QS.Al Baqarah, 2: 55-56)
Al Qur’an berisi kisah serupa yang melibatkan lagi
umat Nabi Musa AS. Allah memerintahkan mereka memukul sesosok mayat dengan
daging sapi yang telah disembelih. Sebagaimana Allah ungkapkan pada ayat di
atas, Dia melakukan ini untuk memperlihatkan bahwa manusia akan dibangkitkan
dan untuk memastikan bahwa mereka beriman. Ini jelas sebuah mukjizat. Akan
tetapi, seperti akan kita lihat di bagian ayat selanjutnya, hati orang-orang
itu mengeras lagi setelah mukjizat terjadi:
Dan (ingatlah), ketika kamu
membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah
hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman:
“Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!”. Demikianlah
Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan
padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti. Kemudian setelah itu
hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara
batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan
diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan
di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah, 2:
72-74)
Allah memberikan contoh lain:
Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati? Maka, Allah berfirman kepada
mereka: “Matilah kamu.” Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
(QS. Al Baqarah, 2: 242-243)
Al Qur’an menceritakan contoh lainnya: keadaan
yang dihadapi seseorang yang tidak mempercayai kebangkitan setelah kematian.
Menurut ayat ini, Allah menyebabkan orang itu mati selama 100 tahun dan lalu
membangkitkannya. Akan tetapi, sekalipun begitu lama waktu berlalu, orang itu
berpikir ia mati hanya selama sehari atau bahkan kurang. Ketika kebenaran ini
disampaikan kepadanya, ia akhirnya beriman, sebagaimana kita lihat dalam ayat
berikut:
Atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh
menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini
setelah hancur?” Maka, Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?”.
Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah
berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; dan
lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah
kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan
kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang
keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya
dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Contoh lain menyangkut sekelompok manusia dalam
gua (ashabul kahfi). Yang membedakan kisah ini dengan kisah-kisah lain
adalah, dalam kisah ini mereka tidak dimatikan, melainkan hanya jatuh tertidur
selama lebih daripada usia manusia yang wajar.
Kelompok ini terdiri atas orang-orang muda yang
taat beragama, yang meninggalkan kaumnya dan mengungsi ke dalam gua, karena
kaum itu telah berpaling kepada paham politeisme (bertuhan banyak) dan
penyembahan berhala. Akan tetapi, Allah secara ajaib menyebabkan mereka
tertidur lebih dari 300 tahun di dalam gua, sebagai berikut:
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun
dalam gua itu. (QS. Al Kahfi, 18: 11)
Dan mereka tinggal dalam gua
mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Katakanlah: “Allah
lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya
dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka
selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya
dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi, 18: 25-26)
Akan tetapi, setelah itu Allah membangunkan
mereka. Kisahnya berlanjut:
Kemudian Kami bangunkan mereka,
agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat
dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). Kami ceritakan
kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk. (QS. Al Kahfi, 18: 12-13)
Mereka tidak menyadari telah tertidur sekian
lamanya. Mereka pikir mereka hanya tertidur selama sehari, atau beberapa jam,
padahal sebenarnya selama 309 tahun. Ayat terkait menyatakan:
Dan demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah
seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini) ?” Mereka
menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain
lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berada lamanya kamu berada (di sini). Maka,
suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah
dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al Kahfi, 18:
19)
Contoh-contoh sejenis yang diberikan dalam Al
Qur’an secara langsung mengungkapkan bahwa Allah tidak memerlukan penyebab apa
pun dalam penciptaan.
Perilaku Lebah: Kebuntuan Bagi Kaum Evolusionis
Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa Dia telah
mengilhami lebah dan memerintahkan kepadanya apa yang harus dilakukannya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlan jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. An Nahl, 16: 68-69)
Seperti kita ketahui, lebah mengumpulkan serbuk
sari dan menghasilkan madu dengan cara mencampur serbuk sari dengan cairan dari
tubuhnya. Untuk menyimpan madu dan membesarkan anak-anaknya, lebah membentuk
sel-sel lilin heksagonal (segi enam) yang semuanya amatlah teratur, bersudut
sama, dan secara umum sama sebangun. Lebah membangun sarang madu dengan sel-sel
itu. Lebih jauh, lebah yang meninggalkan sarang mencari makan dan selalu
kembali ke sana memiliki sistem khusus yang diciptakan Allah sehingga dapat
menemukan jalan pulang.
Bagi seekor serangga, mengetahui besarnya sudut
astakona, menemukan resep lilin dan merancang sistem yang diperlukan untuk
menghasilkannya dalam tubuhnya, dan memasukkan keterangan itu ke dalam DNA-nya
sendiri sehingga anggota sejenisnya di masa depan memiliki kemampuan yang sama,
sudah pasti tidak mungkin.
Sudah sendirinya terbukti bahwa lebah telah
diajarkan semua hal itu oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain,
pengetahuan semacam itu telah diilhamkan dalam dirinya, sebagaimana diungkapkan
ayat-ayat di muka. Allah, Yang Maha Mengetahui, menjabarkan kepada lebah apa
yang harus dikerjakannya, dan lebah bertindak dalam sepenuhnya penerangan ilham
itu. Perilaku sadar sedemikian merupakan bukti nyata penciptaan.
Penelitian sifat-sifat serupa pada hewan
mengungkapkan rancangan tanpa cacat dan kesadaran lebih tinggi yang melekat
pada makhluk hidup. Hal-hal seperti itu menyempatkan orang sekali lagi mengerti
kekuatan Allah yang tak tertandingi. Dia memiliki daya menciptakan makhluk apa
pun yang Dia kehendaki dan dengan sifat-sifat apa pun yang Dia kehendaki,
memiliki kekuatan tak berbatas, dan Penguasa segala sesuatu.
Akan tetapi, kaum evolusionis percaya bahwa
sifat-sifat luar biasa makhluk hidup muncul tanpa disengaja. Menurut pernyataan
tak masuk akal ini, lebah belajar menghitung sudut dan berhasil menularkan
pengetahuannya kepada lebah lain secara tidak disengaja atau kebetulan. Ketidaksengajaan
juga mendorong munculnya sistem tubuh yang menghasilkan lilin dan madu.
Sekadar renungan beberapa detik saja sudah cukup
untuk melihat bahwa jalan cerita khayal seperti itu adalah jauh dari nalar dan
ilmu pengetahuan. Allah menciptakan lebah dan memberinya kesadaran. Keajaiban
penciptaan serupa itu menempatkan kaum evolusionis ke dalam sebuah kesulitan
tanpa jalan keluar.
Nabi Sulaiman Mengerti Bahasa Semut
Telah disinggung di bagian sebelum ini bahwa kaum
evolusionis menganggap makhluk hidup adalah karya ketidaksengajaan buta dan
peristiwa acak. Dalam pandangan mereka, sekalipun menghadapi fakta bahwa sama
sekali tiada bukti yang membenarkan pendapat khayali ini, hewan tidak memiliki
kesadaran. Akan tetapi, ada banyak bukti yang membantah pernyataan mereka.
Tinjaulah kisah dalam Al Qur’an tentang Nabi
Sulaiman AS dan seekor semut betina. Menurut ayat-ayat Al Qur’an tersebut,
beliau mendengar dan mengerti kata-kata semut itu, sebagaimana diceritakan
ayat-ayat berikut ini:
Hingga apabila mereka sampai di
lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena
(mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku ilham
untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh.” (QS. An Naml, 27: 18-19)
Seperti ditegaskan ayat ini, seekor semut berkata
kepada semut lainnya. Tentu, tidak mungkin makhluk yang dianggap “diciptakan”
oleh ketidaksengajaan dapat memiliki sistem komunikasi khusus yang membuatnya
mampu menyampaikan pesan kepada masyarakatnya, atau menunjukkan perilaku yang
menandakan nalar dan akal. Makhluk yang mewujud karena kehendak Allah akan
menunjukkan perilaku sadar dengan cara dan rentang yang dikehendaki Allah.
Manusia bisa saja bertukar pikiran dengan makhluk semacam itu, jika Allah
menghendakinya.
Hewan-hewan, yang menurut teori evolusi,
diperkirakan tidak memiliki kesadaran, ternyata menampakkan bukti adanya
penalaran yang memadai, sebagaimana kita lihat dalam dua contoh ini. Mungkin
kita tidak bisa mengharapkan kaum Darwinis untuk mengerti sifat luar biasa pada
keadaan ini (Kita kecualikan dari sangkaan apa pun mereka yang berpikir tulus
dan mengikuti petunjuk nuraninya). Akan tetapi, mereka yang berkata bahwa
mereka percaya kepada keberadaan dan kekuasaan Allah, harus benar-benar
memikirkan tanda-tanda semacam itu, sebab semua itu membantah evolusi. Ini,
pada gilirannya, memperlihatkan bahwa evolusi tidak dapat dibela dengan cara
apa pun yang mungkin.
Penciptaan Adalah Sebuah Keajaiban
Mengabaikan kenyataan bahwa Allah memiliki
kekuasaan untuk menciptakan dan menghancurkan berperan penting dalam
menyebabkan sebagian kaum Muslimin percaya kepada evolusi. Kaum evolusionis
Muslim ini ada di bawah pengaruh paham naturalisme, yang menyatakan bahwa
hukum-hukum alam tetap sifatnya dan tak berubah, dan bahwa tak sesuatu pun
dapat berada di luar itu semua. Namun, ini kekeliruan besar. Yang kita
maksudkan dengan “hukum alam” lahir dari tindakan Allah menciptakan dan
mempertahankan benda dalam sebuah bentuk tertentu. Tidak mungkin semua itu
dianggap sebagai sifat-sifat yang muncul dari dalam benda sendiri. Sebagaimana
Allah tegaskan, Dia dapat mengubah hukum-hukum itu kapan saja, dan bertindak di
luar cakupan semua itu.
Kita menyebut tindakan Allah yang demikian itu
sebagai mukjizat (keajaiban). Bahwa sekawanan penghuni gua yang disebutkan di
muka tetap hidup selama lebih dari 300 tahun merupakan sebuah keajaiban di luar
hukum-hukum alam. Mereka, yang Allah matikan dan lalu hidupkan kembali, adalah
juga keajaiban. Setiap peristiwa terjadi karena Allah menghendakinya terjadi.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batas-batas hukum tertentu adalah
peristiwa “biasa”, sementara selebihnya adalah keajaiban.
Hal yang mesti dimengerti di sini adalah, Allah
tidak dibatasi oleh hukum yang Dia ciptakan. Jika Dia kehendaki, Dia dapat
membalikkan semua hukum alam. Mudah bagi Allah melakukan hal itu.
Karena sudah terperosok ke dalam pengaruh paham
naturalisme yang membentuk landasan Darwinisme, para evolusionis Muslim mencoba
menjelaskan asal-muasal manusia dan kehidupan lainnya berdasarkan hukum alam.
Mereka percaya bahwa Allah membuat makhluk hidup terwujud dengan cara
penciptaan yang dibatasi oleh hukum alam, dan karena itu membayangkan bahwa
penciptaan disebabkan oleh mutasi, seleksi alam, pembentukan keragaman
(variasi), dan satu makhluk hidup berubah menjadi makhluk hidup lain. Akan
tetapi, salah besar bagi kaum Muslimin untuk menerima jalan pikiran “naturalis”
seperti itu, sebab mukjizat-mukjizat (keajaiban) yang dilukiskan dalam Al
Qur’an nyata-nyata mengungkapkan bahwa cara berpikir demikian adalah rapuh
landasannya.
Apabila kita cermati ayat-ayat yang membahas penciptaan
makhluk hidup dan manusia, kita melihat bahwa penciptaan ini terjadi secara
ajaib dan di luar hukum-hukum alam. Inilah bagaimana Allah mengungkapkan
penciptaan makhluk hidup:
Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya,
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 25)
Ayat ini merujuk ke kelompok-kelompok utama
makhluk hidup di Bumi (reptil, burung, dan mamalia) dan mengatakan bahwa Allah
menciptakan itu semua dari air. Ditinjau lebih seksama, kelompok-kelompok ini
tidak diciptakan “dari satu kelompok menjadi kelompok lainnya”,
sebagaimana “diramalkan” oleh teori evolusi, namun “dari air”. Dengan kata
lain, semua itu dibentuk secara terpisah dari satu zat yang dibentuk Allah.
Ilmu pengetahuan
mutakhir juga menegaskan bahwa satu zat tersebut adalah air, penyusun dasar setiap tubuh yang hidup. Tubuh mamalia adalah
kira-kira 70 persen air. Air tubuh setiap makhluk hidup memungkinkan
hubungan di antara sel-sel, maupun hubungan di dalam sel dan antar-jaringan. Sudah disepakati bahwa tiada yang
bisa hidup tanpa air.
Namun, sebagian kaum Muslimin keliru menafsirkan
ayat di atas, dan mencoba memberinya makna yang lebih sejalan dengan evolusi.
Akan tetapi, jelas bahwa fakta penciptaan dari air sama sekali tidak berkaitan
dengan evolusi, karena teori itu tidak menyatakan bahwa semua makhluk hidup
muncul dari air dan berevolusi. Sebaliknya, teori itu bertahan bahwa makhluk
hidup berevolusi dari satu jenis ke jenis lain, pertentangan yang nyata dengan
fakta bahwa semua kelompok makhluk hidup diciptakan dari air (dengan kata lain,
semua itu diciptakan sendiri-sendiri secara terpisah).
Penciptaan Manusia dari Tanah Liat
Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa manusia
diciptakan secara ajaib. Untuk menciptakan manusia pertama, Allah membentuk
tanah liat, lalu meniupkan ruh ke dalamnya:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah.” Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
(QS. Shaad, 38: 71-72)
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. Al Mu’minuun,
23: 12)
Maka tanyakanlah kepada mereka
(musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang
telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah
liat. (QS. Ash Shaffaat, 37: 11)
Terlihat di sini bahwa manusia tidak diciptakan dari kera
atau makhluk hidup lainnya, sebagaimana kaum evolusionis Muslim inginkan kita
percayai, namun dari tanah liat, suatu zat yang tak-hidup. Allah secara ajaib
mengubah zat tak-hidup itu menjadi manusia dan meniupkan ruh ke dalamnya. Tidak
ada “proses evolusi alamiah” yang bekerja di sini, melainkan penciptaan Allah
yang ajaib dan langsung. Nyatanya, firmanNya sebagaimana berikut ini
memperlihatkan bahwa
manusia diciptakan langsung oleh kekuasaan Allah:
Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah
yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad, 38: 75)
Singkatnya, Al Qur’an tidak berisikan kisah
“evolusi” penciptaan manusia dan makhluk hidup. Sebaliknya, Al Qur’an
mengatakan bahwa Allah menciptakan semua makhluk secara ajaib dari zat-zat tak
hidup seperti air dan lumpur. Sekalipun demikian, sejarah Islam menunjukkan
bahwa sebagian kaum Muslimin terpengaruhi filsafat Yunani kuno, maupun oleh
anasir-anasir evolusi dan materialis di kalangan Muslim sendiri, dan lalu
mencoba menyesuaikan filsafat itu dengan Al Qur’an. Ulama dan pembaharu besar
Islam, Imam Ghazali (wafat 1111), menanggapi kecenderungan ini, yang muncul di
saat beliau masih hidup, dalam bukunya Tahafut al-Falasifa (Ketaklurusan
Para Filsuf) dan buku lainnya. Akan tetapi, bersamaan dengan penyebaran teori
evolusi selama abad ke-19 dan ke-20, pandangan-pandangan “penciptaan lewat
evolusi” mulai muncul kembali di dunia Islam. Bab selanjutnya meninjau
kekeliruan-kekeliruan yang dibuat sebagian kaum Muslimin yang membela
pandangan-pandangan itu, dan menguraikan ulasan mereka tentang ayat-ayat Al
Qur’an yang mereka gunakan untuk membenarkan kedudukan mereka.
BAB IV
KEKELIRUAN MEREKA YANG
MENGGUNAKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN UNTUK ‘MEMBUKTIKAN’ EVOLUSI
Panduan dasar bagi semua Muslim yang percaya
kepada Allah dan Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah (teladan) Nabi SAW. Al
Qur’an mengandung banyak ayat tentang penciptaan kehidupan dan alam semesta.
Tidak ada dari ayat-ayat ini yang memberikan tanda, sekalipun yang paling
samar, tentang penciptaan melalui evolusi. Dengan kata lain, Al Qur’an tidak
mendukung gagasan bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu jenis ke jenis
lainnya, atau bahwa ada rantai kaitan evolusi di antara itu semua. Sebaliknya, Al
Qur’an mengungkapkan bahwa Allah menciptakan kehidupan dan alam semesta secara
ajaib dengan memerintahkan “Jadilah!” Jika mengingat bahwa berbagai temuan
ilmiah juga menggugurkan evolusi, kita melihat sekali lagi bagaimana Al Qur’an
selalu sejalan dengan ilmu pengetahuan.
Tentu saja, jika Allah kehendaki, Dia dapat
menciptakan apa pun lewat cara evolusi. Namun, tiada tanda Dia melakukan hal
itu dalam Al Qur’an, dan tidak satu ayat pun mendukung pernyataan evolusionis
bahwa jenis makhluk hidup berkembang secara bertahap. Jika penciptaan terjadi
secara demikian, kita seharusnya bisa membaca rinciannya dalam Al Qur’an.
Walaupun semuanya demikian jelas, sebagian kaum Muslimin yang mendukung paham
Darwinisme salah menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan memberikan makna yang
tidak sejalan dengan makna jelas dan tegas yang sebenarnya dikandung ayat-ayat
itu. Untuk membela evolusi dan menyediakan sejumlah bukti Al Qur’an baginya,
makna sejumlah ayat dipelintir, tebak-tebakan diandalkan, dan tafsir yang
berprasangka dibuat. Tentang orang-orang dalam keadaan berbahaya ini,
Allah berfirman yang berikut:
Sesungguhnya di antara mereka ada
segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka
yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan
mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Mereka
berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali ‘Imran, 3: 78)
Mereka yang mengetahui Al Qur’an namun memelintir
makna asli ayat-ayatnya dan sengaja salah menafsirkan ayat-ayat itu dikatakan
berdusta terhadap Allah. Tak seorang Muslim pun suka rela berbuat demikian,
karena terlalu takut akan akibat-akibatnya. Jadi, semua uraian yang berdasarkan
dugaan dan tebakan, khususnya yang dibuat oleh mereka yang mengetahui Al Qur’an
dan apa yang dikatakannya tentang masalah-masalah sepenting ini, secara akhlak
tak bisa diterima. Tentu saja, adalah salah apabila kita menyamaratakan setiap
orang yang menyatakan evolusi selaras dengan agama, sebab sebagian mereka tidak
memikirkan apa makna pernyataan semacam itu, dan sebagian lain tidak menyadari
bahaya-bahaya yang menyurukinya. Sekalipun demikian, tidak boleh menyesatkan
orang lain tentang apa yang dikatakan Al Qur’an, dengan cara berbicara atas
nama Allah, dan mencoba membuktikan evolusi dengan menggunakan ayat-ayat Al
Qur’an. Mereka yang melakukan hal itu harus meninjau kembali beratnya akibat
perbuatan mereka dan menghindarkan diri dari membuat tafsir dan uraian seperti
itu, sebab Allah akan meminta tanggung jawab mereka atas kata-kata mereka.
Tidak hanya mereka memperdaya diri sendiri, namun juga memperdaya orang-orang
yang membaca karya-karya mereka – sungguh tanggung jawab yang berat.
Pada akar masalahnya adalah hal ini: kaum Muslimin
yang percaya evolusi menerima gagasan tersebut sebagai fakta ilmiah, sehingga
mereka mendekati Al Qur’an dengan anggapan bahwa Al Qur’an harus menegaskan
evolusi. Jadi, mereka memuati setiap kata yang mungkin memiliki tafsir
evolusioner dengan makna yang tak mungkin dikandungnya. Apabila Al Qur’an
dilihat secara utuh, atau bila ayat yang terkait dibaca dalam kaitan dengan
ayat sebelum dan sesudahnya, orang dapat melihat bahwa penjelasan yang
ditawarkan itu adalah dipaksakan dan tidak sah.
Dalam bab ini, kita akan meninjau ayat-ayat yang
disajikan oleh kaum Muslimin, yang menerima evolusi, sebagai bukti evolusi.
Kita lalu akan menanggapi berbagai pernyataan mereka, juga dari Al Qur’an, dan
membandingkan semua itu dengan tafsir yang dibuat oleh para ulama Islam yang
terkemuka.
Akan tetapi, kita harus tetap ingat akan kenyataan
dasar berikut ini: Al Qur’an harus dibaca dan ditafsirkan dalam bentuk yang
telah Allah ungkapkan, dengan hati yang tulus sepenuhnya dan tanpa terpengaruhi
gagasan dan filsafat apa pun yang bukan Islam. Mendekati Al Qur’an dengan cara
ini akan mengungkapkan bahwa Al Qur’an tidak berisi keterangan tentang
penciptaan lewat evolusi. Sebaliknya, akan terlihat bahwa Allah menciptakan
makhluk hidup dan segala sesuatu dengan perintah tunggal “Jadilah!” Jika
makhluk setengah-manusia-setengah-kera memang benar-benar ada sebelum Nabi
Adam, Allah akan menerangkannya dengan jelas dan mudah dimengerti. Fakta bahwa Al
Qur’an amat jelas dan amat mudah dimengerti menunjukkan bahwa pernyataan
tentang penciptaan evolusi tidaklah benar.
1. Kekeliruan bahwa Manusia
Diciptakan melalui Tahap-Tahap Evolusi
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal
Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.
(QS. Nuh, 71: 13-14)
Mereka yang mendukung penciptaan evolusi
menafsirkan kata-kata “beberapa tingkatan kejadian” sebagai “melalui
tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, menafsirkan kata bahasa Arab atwaran
sebagai tahap-tahap evolusi, yang tak lebih daripada sebuah pendapat pribadi,
tidak secara umum disepakati oleh semua ulama Islam.
Atwar (suasana, keadaan) merupakan bentuk jamak tawru, dan tidak muncul
dalam bentuk itu pada ayat Al Qur’an yang lain. Tafsiran dunia Islam atas ayat
ini memperlihatkan fakta tersebut.
Dalam tafsirnya, Muhammad Hamdi Yazir dari Elmali
menerjemahkan ayat itu sebagai: “Ia menciptakanmu tahap
demi tahap melalui beberapa keadaan.” Dalam uraiannya,
ia melukiskan tahap-tahap ini sebagai “tahap-tahap evolusi”. Akan
tetapi, penjelasan ini tidak berkaitan dengan evolusi yang menyatakan bahwa
akar manusia terletak di makhluk hidup lainnya. Nyatanya, sesudah itu Yazir
segera mengatakan bahwa tahap-tahap tersebut adalah:
Menurut
penjelasan yang diberikan Ebus Suud[43], pertama datang unsur-unsur, lalu zat gizi, lalu adonan/campuran, lalu sel
mani, lalu segumpal daging, lalu daging dan tulang, dan ini akhirnya dibentuk
dengan penciptaan yang sepenuhnya berbeda. “Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 14) Tidakkah Allah, Sang Pencipta yang Mahaperkasa, patut dipuja dan
diagungkan? Tidakkah Dia sanggup terus mengangkatmu lebih jauh dengan bentuk
dan penciptaan lain? Atau tidakkah Dia juga bisa menghancurkanmu dan
melemparkanmu ke dalam siksaan yang pedih? Mengapa tidak kaupikirkan semua hal
ini?
Seperti ditunjukkan semua pernyataan di atas, ayat
ini menggambarkan bagaimana manusia mencapai rahim ibunya sebagai sebuah sel
mani, berkembang sebagai janin dan lalu segumpal daging, dan lalu tumbuh
menjadi daging dan tulang sebelum lahir ke dunia sebagai manusia.
Dalam uraian Imam Tabari, Surat Nuh: 14
diterjemahkan sebagai “Padahal Dia sesungguhnya
telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian”, dan ini ditafsirkan sebagai bermakna “Engkau kali pertama berbentuk
sebutir sel benih, lalu Dia menciptakanmu sebagai segumpal darah, lalu sepotong
kecil daging.” [44]
Omer Basuhi Bilmen menerjemahkan ayat itu sebagai “Nyatanya, Dia menciptakanmu melalui aneka tingkatan”, dan meneruskan dengan tafsir berikut:
Dia
(menciptakan)mu melalui aneka tingkatan. Engkau pertama kali adalah sebutir
benih, lalu setetes darah. Engkau menjadi sepotong daging dan memiliki tulang,
lalu engkau dilahirkan sebagai manusia. Tidakkah semua kejadian dan perubahan,
yang bermacam-macam dan patut dijadikan contoh ini, merupakan bukti cemerlang
akan keberadaan, kekuasaan, dan keagungan Tuhan Penciptaan? Mengapa engkau
tidak memikirkan penciptaan dirimu sendiri? [45]
Sebagaimana kita lihat di sini, para ulama Al
Qur’an Muslim sepakat bahwa penafsiran Surat Nuh: 14 merujuk kepada proses yang
terlibat dalam perkembangan manusia dari penyatuan sel mani dan sel telur.
Bahwa ayat tersebut harus ditafsirkan dengan cara ini adalah jelas dari azas “menafsirkan ayat Al Qur’an menurut ayat Al Qur’an lainnya”, karena dalam ayat-ayat lain Allah menjelaskan tahap-tahap penciptaan
sebagai apa yang terjadi dalam rahim ibu. Itulah sebabnya, atwaran harus
diterjemahkan dengan cara ini. Tidak dibenarkan menggunakan kata itu sebagai
dukungan bagi teori evolusi, yang mencoba mengaitkan asal-muasal manusia dengan
jenis makhluk hidup lainnya.
2. Kekeliruan Bahwa Al
Qur’an Berisi Isyarat Akan Proses Evolusi
Bukankah sudah datang atas manusia suatu waktu dari masa,
sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS.
Al Insaan, 76: 1)
Orang-orang yang sama tersebut juga menggunakan
ayat ini sebagai bukti evolusi. Dalam terjemahan yang berdasarkan penafsiran
pribadi, ungkapan “saat ia bukan sesuatu yang patut disebutkan” diungkapkan
sebagai pernyataan “keadaan-keadaan sebelumnya, saat manusia belum menjadi
manusia”. Akan tetapi, pernyataan ini sama jauhnya dari kebenaran dengan
pernyataan pertama.
Bagian
berbahasa Arab dari ruas yang digarisbawahi adalah:
Lam
yakum shay’am madzkuuraan
lam
yakun: ia bukanlah
shay’an: sesuatu
madzkuuraan: yang dibicarakan, disebutkan
Mencoba
menggunakan ungkapan ini sebagai bukti evolusi adalah benar-benar memaksakan
kata-kata. Nyatanya, para ulama Al Qur’an tidak menafsirkan ayat ini sebagai
menandakan proses evolusi. Misalnya, Hamdi Yazir dari Elmali membuat uraian
berikut:
Awalnya
adalah berbagai anasir dan mineral, lalu gizi tumbuhan dan hewan – “saripati tanah” (QS. Al Mu’minuun, 23: 12) diciptakan dari semua itu dalam tahap-tahap. Lalu, sesuatu muncul amat
lambat dan bertahap dari sel mani yang disaring dari semua itu. Namun, itu
bukan sesuatu yang disebut manusia. Manusia tidak abadi, begitu juga zatnya;
itu muncul kemudian. Manusia ada lama sesudah permulaan waktu dan penciptaan
alam semesta. [46]
Omer
Basuhi Bilmen menjelaskan ayat itu dengan cara ini:
Ayat-ayat
ini menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk melihat dan mendengar dari
setetes air saat ia belum menjadi, dan Dia telah menetapkan suatu cobaan
baginya … Manusia belum ada pada awalnya, namun diciptakan
belakangan sebagai tubuh dibentuk dari setetes air, tanah, dan lempung. Orang
itu tidak dikenal saat itu, namanya dan mengapa ia diciptakan tak diketahui
oleh penghuni Bumi dan langit. Ia lalu mulai diingatkan bahwa ia memiliki ruh. [47]
Imam Tabari menjelaskan arti ayat ini sebagai:
“Begitu lama waktu telah berlalu sejak masa Adam yang di masa itu ia bahkan
bukan sesuatu yang memiliki nilai atau keunggulan apa pun. Ia bukan apa-apa
selain tanah liat yang lengket dan digubah.” [48]
Karena alasan ini, memandang ungkapan waktu dalam
ayat ini sebagai tenggang waktu evolusi adalah murni sebuah pendapat pribadi.
3. Kekeliruan bahwa Penciptaan
Dari Air Adalah Tanda Penciptaan Evolusi
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. (QS. Al Insaan, 76: 2)
Mereka yang membela penciptaan evolusi mencoba
menunjukkan, pernyataan-pernyataan dalam banyak ayat bahwa manusia diciptakan
dari air adalah bukti semua makhluk hidup muncul dari air.
Akan tetapi, ayat-ayat itu selalu ditafsirkan oleh
para ulama dan pengulas Al Qur’an sebagai merujuk kepada penciptaan dari
bersatunya sel mani dan telur. Misalnya, Muhammad Hamdi Yazir dari Elmali
menguraikan ayat di atas sebagai berikut:
… ia diciptakan dari nutfah berbentuk air. Nutfah
adalah air murni. Ia juga berarti air mani. Nutfah dan air mani
menurut kebiasaan memiliki arti yang sama. Namun, di akhir Surat Al Qiyaamah,
dikatakan “nutfah dalam
mani yang ditumpahkan” (QS. Al Qiyaamah, 75: 37), jadi, menyatakan bahwa nutfah itu bagian dari air mani tersebut.
Sebagaimana dikabarkan dalam Sahih al-Muslim, “Anak tidak berasal dari
seluruh cairan itu”. Dan, hadits itu, membahas setiap bagian kecil dari
keseluruhan itu, tidak mengatakan, “Setiap bagian dari suatu cairan”, melainkan
lebih membicarakan satu bagian dari “keseluruhan cairan itu”,
dan bahwa seorang anak tidak berasal dari keseluruhan cairan, namun hanya dari
satu bagian. Nutfah hanyalah satu bagian murni dari air mani. [49]
Ibnu Tabari menafsirkannya sebagai berarti, “Kami
telah menciptakan keturunan Adam dari percampuran cairan-cairan pembuahan
lelaki dan perempuan.” [50]
Omer
Basuhi Bilmen menjelaskannya dalam cara ini:
… (Kami
menciptakan manusia dari setetes nutfah yang tercampur.) Kami membentuknya
dari cairan lelaki dan perempuan yang tercampur. Ya … Manusia adalah, selama
suatu tenggang waktu, sebuah nutfah, dengan kata lain, air yang amat
jernih dan murni, dan lalu selama tenggang waktu tertentu, sebuah ‘alaq, dengan kata lain, segumpal darah, dan lalu
sebuah mudgha, dengan kata lain, segumpal daging. Kemudian,
tulang-tulang terbentuk dan dibungkus daging, dan menjadi hidup …[51]
Seperti kita lihat dari
penjelasan-penjelasan ini, tidak ada kaitan antara penciptaan manusia dari
“setetes nutfah yang tercampur” dengan pernyataan teori evolusi bahwa manusia
muncul secara bertahap dari sebuah sel tunggal yang berkembang tanpa disengaja
dalam air. Sebagaimana dikatakan semua pakar Al Qur’an termasyhur, ayat ini
menarik perhatian kita kepada fakta penciptaan di dalam rahim ibu.
Jika kita mencermati sebuah ayat lain, tempat dibahas
tahap-tahap penciptaan manusia, kekeliruan dasar dalam berbagai uraian ini
terungkap dengan jelas:
Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada
pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)
Dalam ayat ini, tahap-tahap penciptaan manusia
dijabarkan. Debu atau tanah, yakni, zat-zat organik dan anorganik, yang
ditemukan dalam bentuk dasarnya di permukaan dan di dalam bumi, adalah bahan
mentah yang mencakup berbagai mineral dan anasir dasar dalam tubuh manusia.
Tahap kedua adalah penyatuan zat-zat ini dalam air mani, yang dijelaskan Al
Qur’an sebagai setetes nutfah yang tercampur. Tetesan ini berisi sel mani yang
memiliki informasi dan susunan genetis yang diperlukan untuk membuahi telur
dalam rahim ibu. Singkatnya, bahan mentah manusia adalah (tanah/debu) bumi,
yang saripatinya dikumpulkan dalam setetes air mani dengan cara yang akan
melahirkan manusia. Setelah tahap air, tahap-tahap perkembangan manusia di
dalam rahim ibu dijelaskan dalam Al Qur’an. Di sisi lain, teori evolusi
memperkirakan adanya berjuta-juta tahap dugaan/hipotetis (sel pertama, makhluk
bersel tunggal, makhluk bersel banyak, hewan tak bertulang belakang, hewan
bertulang belakang, reptil, mamalia, primata, dan tahap-tahap serupa yang tak
terhitung banyaknya) antara timbulnya kehidupan di air sampai ke pembentukan
manusia. Akan tetapi, dalam urutan yang disajikan ayat di atas, nyata bahwa
tidak ada penjelasan yang demikian, sebab manusia mengambil bentuk ‘alaq setelah ia berbentuk setetes air.
Karena alasan ini, jelaslah bahwa ayat di atas tidak
melukiskan tahap-tahap evolusi yang berbeda yang dilalui manusia, melainkan
tahap-tahap penciptaan sejak sebelum dan di dalam rahim ibu sampai masa tua.
Ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia dan
makhluk hidup lainnya diciptakan dari air juga tidak mengandung arti yang dapat
dipakai untuk mendukung evolusi. Ayat-ayat berikut ini termasuk di antara ayat
yang berisi pernyataan semacam itu:
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’, 21: 30)
Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya,
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 45)
Ayat-ayat
di bawah ini jelas menyatakan bahwa “setetes air” itu adalah air mani:
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani, apabila dipancarkan (min
nuthfatin idzaa tumnaa). Dan bahwasanya Dia-lah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan
sesudah mati). (QS. An Najm, 53: 45-47)
Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan ke dalam rahim (nuthfatam
mim maniyyiy yumnaa)…? (QS. Al Qiyaamah, 75:
37)
Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang
terpancar (khuliqa mim maa-in dafiqin),
yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (QS. Ath Thaariq, 86:
5-7)
Sebagian pengulas Al Qur’an ada yang berpikir
bahwa “penciptaan makhluk hidup dari air” mengandung arti yang sejalan dengan
teori evolusi. Akan tetapi, pandangan ini sungguh lemah. Ayat-ayat itu
mengungkapkan bahwa air adalah bahan mentah bagi makhluk hidup, dengan cara
mengatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan darinya. Nyatanya, biologi
mutakhir mengungkapkan bahwa air merupakan unsur paling mendasar semua makhluk
hidup, sebab tubuh manusia kira-kira 70 persennya air. Air memungkinkan gerakan
dalam sel, antar-sel, dan antar-jaringan. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan.
4.
Kekeliruan bahwa Penciptaan Itu yang Pertama dari Tanah Lalu dari Air Berarti
Penciptaan Evolusi
Apakah kamu kafir kepada (Tuhan)
yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? (QS. Al Kahfi, 18: 37)
Imam
Tabari menguraikan ayat ini sebagai berikut:
...
Apakah engkau hendak mengingkari Allah yang menciptakan ayahmu Adam dari tanah/debu, lalu menciptakanmu dari cairan lelaki dan perempuan, lalu
membungkusmu dalam bentuk manusia? Allah, Dia yang memberimu semua ini dan
menjadikan dirimu seperti saat ini, mewujudkanmu untuk membuatmu makhluk hidup
lain setelah engkau mati dan kembali ke tanah. [52]
Uraian
Omer Nasuhi Bilmen atas ayat yang sama mengatakan:
Apakah
engkau mengingkari Allah Mahaperkasa yang menciptakan Nabi Adam, moyang
bangsamu dan musabab penciptaanmu, (dari tanah/debu), Yang lalu menciptakanmu
dan (membentukmu sebagai lelaki setelah menciptakanmu) dari nutfah dan
setetes mani, Yang mewujudkanmu sebagai manusia lengkap sebagai hasil tahap-tahap
kehidupan yang berbeda? Karena mengingkari hidup sesudah mati sama dengan
mengingkari Allah Mahaperkasa, Yang memberimu kabar bahwa itu akan terjadi dan
Yang memiliki kekuasaan untuk membuatnya terjadi. [53]
Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengulas ini,
memakai ayat-ayat sejenis itu sebagai bukti proses evolusi tidaklah lebih
daripada pendapat pribadi murni, sebab dengan cara apa pun ayat-ayat itu tidak
membawa makna yang dilekatkan kaum evolusionis padanya. Ungkapan penciptaan
dari tanah/debu melukiskan penciptaan Nabi Adam, dan penciptaan dari air
merujuk kepada pertumbuhan manusia, mulai dari air mani. Diperlihatkan dalam
ayat berikut ini bahwa Allah menciptakan manusia langsung dari tanah liat
kering. Ayat ini, yang menggambarkan penciptaan Nabi Adam, tidak membicarakan
suatu tahap:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS. Al Hijr, 15: 28-29)
Jika kisah Al Qur’an tentang tahap-tahap
penciptaan dibaca dengan cermat, sambil mengingat proses-proses yang berurut,
akan segera disadari bahwa pandangan evolusi itu adalah tidak benar.
Al Qur’an berisi banyak ayat yang menunjukkan bahwa Nabi
Adam AS tidak diciptakan melalui tahap evolusi. Salah satunya berbunyi:
Sesungguhnya misal (penciptaan)
‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah!” (seorang manusia),
maka jadilah dia. (QS. Ali ‘Imran, 3: 59)
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah menciptakan
Nabi Adam AS dan Isa AS, dengan cara serupa. Sebagaimana telah kami tekankan
sebelumnya, Nabi Adam diciptakan tanpa orangtua, dari tanah, dengan perintah
Allah “Jadilah!” Nabi Isa juga diciptakan tanpa ayah, atas kehendak Allah yang
diungkapkan lewat perintah “Jadilah!” Dengan perintah ini, Maryam AS pun
mengandung Isa:
Maka ia mengadakan tabir (yang
melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata:
“Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika
kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang
suci.” Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki,
sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang
pezina!” Jibril berkata: Demikianlah. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah
bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai
rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS.
Maryam, 19: 17-21)
Dalam ayat lain yang merujuk kepada penciptaan
dari air dan tanah, bukanlah tahap-tahap evolusi yang dijelaskan, namun
tahap-tahap penciptaan manusia sebelum berada dalam rahim, selama di dalamnya,
dan sesudah dilahirkan.
Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)
Dia-lah yang menciptakan kamu
dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah,
kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan
hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup
lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS. Al Mu’min, 40: 67)
Dari air mani, apabila
dipancarkan. (QS. An Najm, 53: 46)
5. Kekeliruan Bahwa
Manusia Pertama Diciptakan dalam Waktu yang Lama
(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, “Sesunguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah” (QS. Shaad, 38: 71)
Kekeliruan lain dalam penciptaan evolusi berasal
dari penafsiran ayat di atas secara salah. Kaum evolusionis menyatakan bahwa
ruas kalimat yang digaris-bawahi di atas menunjukkan sebuah penciptaan yang
lamban dalam waktu lama. Akan tetapi, bahasa Arab yang asli jelas menegaskan
bahwa ini adalah murni pandangan sepihak dan seluruhnya bertentangan:
“innii khaaliqum basyaram min thiinin” berarti “Aku adalah Dia Yang menciptakan seorang manusia dari
tanah liat.”
Ayat ini tidak mengatakan apa-apa yang
seperti “Aku sedang menciptakan”. Nyatanya, ayat ini berlanjut, “Apabila Aku telah membentuknya dan meniupkan ruhKu
kepadanya, tunduk sujudlah kepadanya!” Jelas dari ayat ini bahwa kata kerja
menciptakan di sini terjadi dalam sekejap.
Sungguh,
tak seorang pun ulama Al Qur’an menerjemahkannya sebagai “Aku sedang
menciptakan”. Misalnya, uraian Suleyman Ates, seorang ulama Muslim Turki,
terbaca:
Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat “Aku akan menciptakan manusia dari tanah liat.”
Allah
mengabari para malaikat bahwa Dia akan menciptakan seorang manusia dari tanah
liat busuk. Setelah mengolah tanah liat ke bentuk manusia dan meniupkan ruhNya
sendiri ke dalamnya, Dia memerintahkan para malaikat agar bersujud di hadapan
manusia itu. Mereka semua bersujud. Hanya Setan yang tidak bersujud kepada
moyang manusia, sambil berkata bahwa ia yang tercipta dari api adalah lebih
baik daripada manusia yang tercipta dari tanah liat.
Imam
Tabari menerjemahkan ayat yang sama sebagai, “Aku
akan menciptakan manusia dari tanah liat”,
dan memberikan uraian ini:
… Allah sekali waktu mengabari para malaikat, “Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat. Selesai Aku menciptakannya,
menetapkan bentuknya, dan meniupkan ruhKu ke dalam dirinya, kalian akan
bersujud kepadanya.” [54]
Mereka yang membela penciptaan evolusi juga mengutip ayat
berikut ini untuk mendukung pendapat bahwa manusia diciptakan melalui sebuah
proses:
Yang
menciptakan segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. (QS. As Sajdah, 32: 7)
Menurut tafsiran mereka, ungkapan yang
digarisbawahi merujuk ke suatu proses, dalam hal ini proses evolusi. Namun,
ungkapan itu sebenarnya sama sekali tidak merujuk ke proses semacam itu.
Sebagaimana telah kami tekankan sepanjang buku ini, sangat banyak ayat
melukiskan dengan rinci penciptaan oleh Allah dari ketiadaan, dan tak satu pun
dari ayat-ayat itu dapat ditafsirkan bermakna penciptaan evolusi. Ayat berikut
menekankan bahwa Allah dalam tindak penciptaan yang berkesinambungan.
Atau siapakah yang menciptakan
(manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang
memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada
tuhan (yang lain)? Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu
memang orang-orang yang benar.” (QS. An Naml, 27: 64)
Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (QS. Al Ankabuut, 29: 19)
Allah menciptakan (manusia) dari
permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkannya) kembali; kemudian
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Ar Ruum, 30: 11)
Penciptaan yang sinambung oleh Allah, atas setiap
rincian di alam semesta, tidak menyiratkan evolusi. Seperti tafsir sejenis
lainnya, tafsir yang satu ini sangat dipaksakan. Lebih lagi, jika Al Qur’an
dilihat secara menyeluruh, pernyataan serupa akan terlihat tidak memiliki dasar
yang sejati. Omer Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat ini sebagai berarti “…Dia
menciptakan Nabi Adam dari tanah,” [55] dan Imam Tabari sebagai “Dia memulai penciptaan Adam dari tanah liat.”[56]
Para evolusionis Muslim mengutip ayat-ayat di bawah ini,
khususnya bagian yang digarisbawahi, untuk mendukung pandangan mereka:
Hai manusia, apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)
mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu. (QS. Al Infithaar, 82: 6-8)
Namun, akan memaksakan makna ayat jika berkata
bahwa ayat ini merujuk ke proses evolusi. Nyatanya, Hamdi Yazir dari Elmali
menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
“Allah menciptakanmu. Jelaslah bahwa penciptaan di sini bermakna mengadakan sebelum menyusun
tubuh dan organ-organnya, menetapkan ukuran dan bentuk, serta menyatukan
bagian-bagian. Kita juga diberitahu bahwa keberadaan, saripati dari segala
nikmat, adalah Rahmat dan Kebaikan Ilahiah yang terpenting.
Dia lalu menyusun tubuh
dan organ-organmu. Dikatakan bahwa “Dia menciptakanmu dari tanah/debu,
lalu dari setetes mani, dan lalu menyempurnakanmu sebagai laki-laki” (QS. Al
Kahfi, 18: 37) dan, sebagaimana dalam banyak ayat lainnya, bahwa manusia
itu dibawa ke tahap ruh dapat ditiupkan ke dalam dirinya secara bertahap; Dia
menyusun tubuh, organ-organ, dan kemampuan, serta memberimu keseimbangan dan
kendali. Ada dua tafsiran bebas di sini, satu berasal dari ‘adl dan yang lain dari ta’dil. Karena keduanya
berarti “menyeimbangkan” dan “mengembalikan ke keadaan wajar”,
beberapa tafsiran telah dibuat, yang menyatakan bahwa “penciptaan sesuai dengan
urutan” telah dibuat sempurna.
Menurut
uraian Muqatil, ungkapan dalam Surat Al Qiyaamah: 4 bahwa “Kami sungguh kuasa menyusun (ulang) jari-jemarinya,” berarti bahwa tubuh manusia berbentuk seimbang dan teratur, sebagaimana
kesesuaian dan rincian organ-organ kembar (misalnya, mata, telinga, tangan, dan
kaki) diketahui dari anatomi (ilmu urai tubuh). [57]
Menurut Abu Ali Farisi, ungkapan “Dia
menyeimbangkanmu” sebenarnya berarti “Dia membentukmu
dalam bentuk yang sebagus-bagusnya, dan dengan ukuran ini memberimu kemampuan
mengerti nalar, gagasan, dan kekuatan, serta memberimu keunggulan atas tumbuhan
dan makhluk hidup lain. Dia membawamu ke tingkat kematangan yang jauh melebihi
makhluk hidup lain di dunia.” Ini sejalan dengan arti “Apabila
Aku telah menyempurnakan bentuknya dan meniupkan ruhKu ke dalam dirinya” (QS.
Al Hijr, 15: 29) dan “melebihkan mereka jauh di
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al Israa’, 17: 70). Semua ini adalah nikmat dan kasih sayang dari Allah. [58]
Omer
Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat itu seperti ini:
Ya.
Tuhanmu (yang menciptakanmu) memberimu wujud dari ketiadaan (lalu membentukmu),
memberimu organ-organ yang bagus dan sempurna (dan menyeimbangkanmu). Dia
menyeimbangkan organ-organmu, dengan keindahan yang sedap di mata dan susunan
yang alami.[59]
Imam Tabari menyatakan
bahwa Surat Al Infithar: 7 merujuk kepada manusia yang diciptakan dalam satu
perintah:
Hai manusia, Tuhan yang
menciptakanmu membuat penciptaan itu teratur dan menghasilkanmu dalam bentuk
yang sehat, teratur, dan benar. (Dengan kata lain, Dia menciptakan manusia
lengkap dengan tinggi yang tertentu, ukuran yang benar, dan dalam bentuk dan
rupa yang terbaik.) Allah membuatmu dengan kecantikan atau keburukan yang Dia
anggap tepat. [60]
Seperti
dapat dilihat dari ulasan di atas, pernyataan-pernyataannya amat jelas; semua
ayat itu menunjuk ke arah penciptaan lengkap, benar, dan teratur atas manusia
pertama. Pernyataan-pernyataan serupa ternyata dapat ditemukan dalam banyak
ayat lain. Misalnya, Surat As Sajdah: 7-9 mengatakan:
Yang membuat
segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan
manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air
yang hina (air mani). Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuh)
nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As Sajdah, 32: 7-9)
Kata “penciptaan” digunakan kali pertama dalam
ayat-ayat ini, yang lalu berlanjut dengan mengatakan bahwa Dia menciptakan
mata, telinga, dan hati. Jadi, kita diberitahu bahwa semua tahap ini terjadi
pada waktu yang sama; dengan kata lain, mata, telinga, dan hati manusia pertama
diciptakan bersama-sama, dan ia diciptakan dalam sesaat. Salah besar jika
mengartikan ayat-ayat ini seakan merujuk kepada evolusi manusia. Nyatanya, para
ulama Islam terkemuka semuanya sepakat tentang tafsir ayat ini. Misalnya, Imam
Tabari mengatakan:
… Dia
lalu memunculkan manusia sebagai makhluk lengkap dalam bentuk yang teratur,
kemudian meniupkan jiwaNya ke dalam dirinya, dan membuatnya makhluk yang
berbicara … Dia memberi telinga agar engkau mendengar, mata agar engkau
melihat, dan hati agar engkau membedakan yang benar dan yang salah, dan engkau
wajib bersyukur atas nikmat-nikmat ini... [61]
Tafsir Omer Nasuhi Bilmen berbunyi: “Tuhan
menyusun manusia yang mulai berbentuk, melengkapi tubuhnya sementara masih
dalam rahim ibunya, dan membentuknya dengan cara yang selayaknya (dan lalu
meniupkan ruhNya ke dalam tubuhnya). Dengan kata lain, Dia memberi manusia
kehidupan dan mengilhami daya penting dalam jiwanya … Tuhan memberimu kuasa
(pendengaran) yang amat berguna itu sehingga, berkat itu semua, engkau dapat
mendengar kata-kata yang diucapkan kepadamu, dan menciptakan mata dan hatimu
agar engkau dapat melihat apa-apa di sekelilingmu dan membedakan antara yang
bermanfaat dan yang tidak. Masing-masing hal ini adalah nikmat ilahi yang
agung.”[62]
6. Kekeliruan Bahwa Nabi
Adam Bukan Manusia Pertama
Pernyataan lain yang diajukan menyangkut
penciptaan evolusi adalah Nabi Adam AS mungkin bukan manusia pertama dan bahkan
mungkin bukan manusia. (Kami memohon ampun kepada Nabi Adam AS). Ayat berikut
diajukan sebagai bukti akan hal ini:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 30)
Mereka yang mendukung pernyataan ini berkata bahwa
kata kerja bahasa Arab ja’ala dalam ungkapan “Aku akan menciptakan
seorang khalifah” bermakna “mengangkat”. Dengan kata lain, mereka berpendapat
bahwa Nabi Adam bukanlah manusia pertama, namun ia “diangkat” sebagai khalifah
di antara banyak orang. Akan tetapi, dalam Al Qur’an, kata kerja ini memiliki
arti berikut:
Menciptakan, menemukan, menerjemahkan, membuat,
menempatkan, dan menjadikan
Beberapa contoh ayat Al Qur’an saat ja’ala digunakan
adalah:
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia
jadikan (ja’ala) daripadanya isterinya dan Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak… (QS. Az Zumar, 39: 6)
Katakanlah: “Dia-lah yang menciptakan
kamu dan memberi kamu (ja’ala) pendengaran, penglihatan, dan
hati. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk, 67: 23)
Dan Allah menciptakan
padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan (ja’ala) matahari
sebagai pelita. (QS. Nuh, 71: 16)
Dan Allah menjadikan (ja’ala)
bumi untukmu sebagai hamparan. (QS. Nuh, 71: 19)
Sebagaimana terlihat pada ayat-ayat di atas, ja’ala
memiliki banyak makna. Lebih lagi, sejumlah ayat menyatakan bahwa Nabi Adam AS
diciptakan dari tanah/debu. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam AS
bukanlah seorang manusia biasa di antara banyak orang, melainkan bahwa ia
memiliki penciptaan yang khusus dan berbeda.
Al Qur’an mengungkapkan fakta penting lainnya tentang Nabi
Adam AS: pemindahannya dari Taman Surga. Dikatakan dalam ayat-ayat:
Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Setan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapakmu dari Surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al A’raaf, 7: 27)
Dan Kami berfirman: “Hai
Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya
yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati
pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan
semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebahagian kamu menjadi musuh bagi
yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup
sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al Baqarah, 2: 35-36)
Pernyataan ayat-ayat di atas sungguh-sungguh
terang. Allah menciptakan Nabi Adam AS dari tanah/debu. Nabi Adam AS adalah
penciptaan khusus yang muncul, pertama kali dari keberadaannya di surga, dan
lalu dari pemindahannya dari surga. Namun, kaum evolusionis Muslim mengabaikan
kebenaran yang nyata ini, dan bersikeras bahwa “surga” di sini tidak merujuk
kepada Surga di akhirat, namun suatu tempat indah di Bumi, sekalipun Al Qur’an
merinci ciri surga yang di dalamnya Nabi Adam AS diciptakan. Misalnya, Surga berisi para malaikat dan iblis, dan para malaikat berbicara
kepada Allah. Salah jika menelurkan tafsir yang dipaksakan, dan mencari bukti
evolusi, di saat ayat-ayat tentang masalah ini begitu jelasnya.
Banyak ayat menyatakan bahwa semua orang
diturunkan dari Nabi Adam AS. Sebagaimana Al Qur’an katakan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” Atau agar kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah
mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang
yang sesat dulu?” (QS. Al A’raaf, 7:
172-173)
Nabi Adam
AS adalah manusia pertama dan utusan Allah yang pertama. Ayat-ayat begitu tegas
dan jelas tentang masalah ini, sehingga tidak diperlukan uraian apa pun. Yang
harus dilakukan orang hanyalah membaca Al Qur’an dengan hati yang tulus dan
mendengarkan hati nurani. Allah akan mengungkapkan kebenaran kepada mereka yang
membaca ayat-ayatNya dengan niat tersebut.
7. Kekeliruan Bahwa “Para Moyang”
yang Disebutkan dalam Al Qur’an Merujuk kepada Nenek Moyang Evolusi
Perihal lain yang dicoba tampilkan oleh kaum
evolusionis Muslim sebagai bukti pernyataan mereka adalah ungkapan “para nenek
moyang”, yang muncul dalam beberapa ayat. Menurut tafsir mereka yang keliru,
ungkapan ini merujuk langsung kepada nenek moyang purba manusia. Alasan mereka
untuk ini adalah, kata “nenek moyang” muncul berbentuk jamak dalam Al Qur’an.
Dua ayat terkait berbunyi:
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu
dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS.
Asy Syu’araa’, 26: 26)
Tidak ada tuhan melainkan
Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan
bapak-bapakmu yang terdahulu. (QS. Ad Dukhaan, 44: 8)
Akan tetapi, ini pernyataan yang dipaksakan karena
penggunaan kata berbentuk jamak itu lumrah dan pasti tidak bisa digunakan
sebagai dasar bagi tafsir evolusionis.
Ungkapan ini muncul dalam banyak ayat lainnya, di
antaranya Surat Al Baqarah: 133. Di sini, “para nenek moyang” tidak merujuk
kepada proses evolusi mana pun, namun kepada generasi-generasi yang sebelumnya.
Dengan cara serupa, istilah “para moyang, orang-orang sebelum” di masa lalu
merujuk kepada generasi-generasi yang silam. Ungkapan ini tidak berisi makna
evolusi:
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS.
Al Baqarah, 2: 133)
8.
Kesalahan Tentang Bentuk Penciptaan Manusia
Dan
Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia
mengembalikan kamu ke dalam tanah, dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada Hari
Kiamat) dengan sebenar-benarnya. (QS. Nuh, 71: 17-18)
Kaum evolusionis Muslim melihat ayat ini sebagai
landasan teramat penting dalam menentukan dasar pandangan mereka. Ungkapan “Allah menumbuhkanmu dari tanah” disajikan sebagai
bukti evolusi zat anorganik (zat tak hidup). Akan tetapi, sebagaimana dengan
terang ditunjukkan dalam tafsir ayat, ungkapan ini menggambarkan penciptaan
manusia pertama dari bumi (tanah). Hamdi Yazir dari Elmali mengajukan tafsir
yang senada:
Ada
dua segi ayat. Pertama, mengatakan Dia menciptakanmu dari tanah berarti bahwa Dia
menciptakan ayahmu dari tanah, dan memulai proses penciptaan bangsamu dengan
menciptakannya dari tanah. Kedua, Dia menciptakan kalian semua dari tanah,
sebab Allah menciptakan kita dari zat gizi, dari tumbuhan, dari bumi/tanah. [63]
Omer
Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir ini terhadap Surat Nuh 17-18:
Hai
manusia! Lihatlah ini. Allah membuatmu dari tanah bagai tumbuhan. Dengan kata
lain, “Dia menciptakan Adam, moyangmu, dari tanah, atau anasir utamamu (zigot)
terwujud dari tumbuhan dan beberapa bahan makanan lainnya yang tumbuh di bumi.
Manusia lalu tumbuh dan hidup. (Lalu) hai manusia, Dia akan mengembalikanmu ke
sana. Dengan kata lain: Saat engkau mati, engkau akan kembali ke bumi dan
menjadi bagian dari tanah. (Dan) lalu Dia akan mengeluarkanmu dari kubur dan
menggiring kalian semua ke Hari Kiamat. Semua ini adalah kenyataan. [64]
Uraian Imam Tabari menyatakan bahwa: “Allah
menciptakanmu dari tanah bumi. Dia membuatmu dari ketiadaan … Dia lalu akan
mengembalikanmu ke keadaan asalmu, ke bumi. Engkau akan kembali ke sebagaimana
engkau sebelum diciptakan. Dia bisa membuatmu kembali hidup dari bumi jika Dia
menghendaki.” [65]
Sebagaimana telah kita lihat dari tafsir para ulama
Al Qur’an ini, ayat ini tidak dapat dipakai sebagai dasar penciptaan evolusi.
Lagi pula, pernyataan tentang evolusi anorganik
tidak memiliki dasar ilmiah. Gagasan bahwa zat-zat yang tak hidup bisa bersatu
membentuk kehidupan merupakan gagasan tak ilmiah yang tidak diperkuat oleh
percobaan dan pengamatan apa pun. Bahkan sebaliknya, ahli biologi Perancis
Louis Pasteur (1822-1895) memperlihatkan bahwa kehidupan hanya mungkin berasal
dari kehidupan. Ini menunjukkan bahwa kehidupan pasti dengan sengaja
diciptakan. Dengan kata lain, Allah menciptakan semua makhluk hidup. (Untuk
rincian lebih jauh tentang bukti ilmiah dan dusta evolusionis dalam hal ini,
silakan merujuk ke Harun Yahya: The Evolution Deceit, Taha Publishers,
London, 1999, dan Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New Delhi,
2003.)
9. Kekeliruan bahwa Al Qur’an Menunjuk ke Seleksi Alam
Salah satu pernyataan evolusi yang paling dasar adalah, seleksi alam
merupakan sebuah daya evolusi. Sebagaimana kita lihat di bab-bab sebelum ini,
seleksi alam adalah dusta evolusionis, yang menyatakan bahwa yang kuat bertahan
dan yang lemah tersingkir seiring waktu.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan mutakhir menunjukkan, seleksi
alam tidak memiliki daya evolusi, dan tidak dapat menyebabkan satu jenis
makhluk hidup berkembang, atau pun jenis makhluk hidup baru muncul. Akan
tetapi, fakta-fakta ilmiah ini, yang sengaja diabaikan kaum Darwinis demi
kepentingan materialisnya, juga diabaikan oleh kaum evolusionis Muslim.
Beberapa kelompok Muslim mendukung pandangan taklid Darwinis ini, dan bahkan
mencoba memberikan bukti Al Qur’an yang sangat dipaksakan baginya. Misalnya:
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang
Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci
Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (QS. Al Qashash, 28: 68)
Ayat ini mengungkapkan mereka yang Allah akan tunjuki jalan
yang lurus serta nabi-nabi yang akan Dia umumkan sebagai utusan. Salah besar
bila mengatakan bahwa ayat ini menunjuk ke seleksi alam evolusi.
Para
ulama Al Qur’an sepakat menyetujui tafsir tersebut. Misalnya, Imam Tabari
mengajukan uraian berikut:
Tuhanmu
menciptakan apa yang Dia kehendaki dari para hambaNya, dan memilih mereka
yang Dia kehendaki untuk mengikuti jalan yang lurus. Mereka tidak berhak
memilih dalam hal ini. Mereka tidak berhak memilih untuk berlaku seperti yang
mereka inginkan…[66]
Ulama
besar Omer Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir berikut ini:
Dalam
ayat-ayat suci ini, Allah menyatakan kekuasaanNya dalam penciptaan, bahwa Dia
menyukai dan memilih siapa yang Dia kehendaki, kebijaksanaan dan kekuatanNya,
keesaanNya, kejayaan dan puja-puji milikNya, perintah ilahiahNya, dan bahwa
semua hambaNya akan dipanggil menghadap keberadaan ilahiahNya. Dengan kata
lain, tidak seorang pun dapat menghambat kesukaan dan pilihan sang Mahakuasa
dengan cara apa pun. Apa pun yang hambaNya pilih tidak dengan sendirinya bermanfaat.
Dengan segala puji, Allah tidak wajib menciptakan apa yang mereka sukai dan
pilih. Allah tidak mengirimkan utusan-utusanNya berdasarkan kesukaan dan
pendapat kaum yang Dia kirimi utusan itu, hanya berdasarkan pilihan ilahiahNya.
Hanya Dia yang mengetahui, bagaimana dan dengan cara apa kebaikan dan
kemakmuran akan terwujud. Dia tak bersekutu, tak sesuatu pun bisa ada tanpa
kehendakNya yang abadi, dan kehendak siapa pun tidak dapat menentang ketentuan
dan pilihanNya yang mulia. [67]
Hamdi Yazir dari Elmali menafsirkan ayat itu sebagai
berikut:
Tuhanmu menciptakan dan menetapkan apa yang Dia pilih. Dengan kata lain, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih mereka yang Dia kehendaki dari mereka yang Dia telah ciptakan. Dia menetapkan bagi mereka tugas-tugas seperti
kenabian dan penyampaian pesan. Mereka
tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Selain dari yang Allah tentukan, mereka
tidak berhak memilih sekutu atau penyampai kabar lain. [68]
Ayat kedua yang diajukan para
evolusionis Muslim adalah:
Segala puji bagi Allah Pencipta
langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus
berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga
dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Faathir, 35: 1)
Kaum Muslimin serupa mereka itu menganjurkan ayat
ini sebagai bukti pertumbuhan evolusi. Akan tetapi, mereka harus memelintir
makna ayat yang sebenarnya, demi memperoleh makna demikian. Hal itu juga
bertentangan dengan nalar dan akal sehat, karena ayat itu membahas penciptaan
malaikat. Imam Tabari menafsirkan ayat itu sebagai berikut: “Dia dapat menambah
jumlah sayap malaikat sebanyak yang Dia kehendaki. Dia dapat melakukan hal
serupa terhadap makhluk hidup lainnya. Penciptaan dan perintah ada di
tanganNya. “[69]Omer Nasuhi Bilmen sepakat, “Dia begitu berkuasa sehingga Dia menentukan
jumlah sayap dan kekuatan malaikat.” [70]
10. Kekeliruan
Memperlihatkan Al Qur’an sebagai Bukti untuk Mutasi
Sebagaimana seleksi alam, para evolusionis Muslim
menafsirkan secara keliru dan memaksakan ayat-ayat Al Qur’an saat membahas
mutasi. Akan tetapi menganggap bahwa sebuah pergerakan alamiah, yang tidak
berpengaruh apa pun kecuali merusak, bisa menjadi bukti evolusi merupakan
kesalahan yang mengenaskan. Tidak ada pengaruh evolusi dari mutasi yang pernah
teramati. (Untuk perincian lebih jauh mengenai bukti ilmiah atas hal ini,
silakan melihat Harun Yahya: Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New
Delhi, 2003 dan Evolution Deceit, Taha Publishers, London, 1999.) Hal
yang penting di sini adalah bukti, yang dicoba diajukan dari Al Qur’an oleh
kaum evolusionis Muslim, yang percaya bahwa mutasi merupakan mekanisme evolusi.
Mereka memelintir habis sejumlah ayat sehingga jauh dari makna sebenarnya.
Ayat-ayat tersebut berbunyi:
Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah
mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan
tidak (pula) sanggup kembali. (QS. Yaasin, 36: 67)
Dan sesungguhnya telah kamu
ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina.”(QS. Al-Baqarah 2: 65)
Maka tatkala mereka bersikap
sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan
kepadanya:” "Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al A’raaf, 7: 166)
Katakanlah: “Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)
Maka Musa menjatuhkan tongkatnya,
lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya. (QS. Al A’raaf, 7: 107)
Bila tidak ada orang yang
percaya bahwa perlu memelintir dan memaksakan kebenaran demi
menemukan bukti Al Qur’an bagi evolusi, tidaklah mungkin memandang ayat-ayat
itu sebagai bukti apa pun bagi mutasi.
Empat ayat pertama berbicara
tentang mukjizat Allah dalam mengubah tubuh makhluk hidup. Bahkan subjek pada
ayat kelima (yakni, tongkat) tidak hidup, yang membuat tak mungkin berpendapat
bahwa subjek itu mengalami mutasi. Penggambaran evolusionis Muslim terhadap
ayat-ayat ini sebagai bukti evolusi menunjukkan, betapa zalim, memaksakan, dan
tak Islami sebenarnya gagasan penciptaan evolusi.
11. Kekeliruan bahwa Ada
Hubungan Kekerabatan antara Manusia dan Kera dalam Al Qur’an
Satu ayat yang seringkali keliru ditafsirkan
selama debat tentang evolusi, dan yang ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai
suatu tanda dari teori itu, adalah ayat mengenai pengubahan yang Allah lakukan
atas sekelompok orang Yahudi sehingga menjadi kera:
Dan sesungguhnya telah kamu
ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami
berfirman: “Jadilah kamu kera yang hina.” Maka, Kami jadikan yang demikian
itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang
kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al
Baqarah, 2: 65-66)
Ayat ini tidak bisa ditafsirkan dalam cara yang
sejalan dengan teori evolusi, karena:
1) Hukuman yang dimaksudkan mungkin dalam
pengertian rasa keagamaan. Dengan kata lain, mungkin orang-orang Yahudi
tersebut disejajarkan dengan kera dalam pengertian perangai, dan tidak dalam
penampakan jasmaniah yang sebenarnya.
2) Jika hukuman yang dimaksud terjadi dalam bentuk
jasmaniah, itu merupakan keajaiban di luar hukum alam. Kita di sini berbicara
tentang keajaiban di luar kekuatan alam biasa yang berlangsung seketika atas
kehendak Allah, suatu penciptaan yang sadar. Evolusi menyatakan bahwa makhluk
hidup, yang berlain-lainan jenis, beralih dari satu jenis ke jenis yang lain
selama jutaan tahun, secara tanpa disengaja dan bertahap. Karena alasan inilah,
kisah Al Qur’an di atas tidak berkaitan apa-apa dengan jalan cerita yang
diajukan oleh mereka yang mendukung evolusi.
Nyatanya, ayat yang kedua berbunyi: “Maka, Kami jadikan yang
demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang
datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut diubah menjadi kera
sebagai peringatan bagi mereka yang akan datang kemudian.
3) Hukuman ini terjadi hanya sekali dan pada
sekelompok orang yang terbatas jumlahnya, sementara teori evolusi mengajukan
jalan cerita yang tak masuk akal dan tak ilmiah bahwa kera berkerabat dengan
semua manusia.
4) Ayat itu mengatakan bahwa manusia diubah
menjadi kera; evolusi mengatakan yang terjadi adalah sebaliknya.
5) Al Qur’an 5: 60 menceritakan bahwa ada suatu masyarakat
yang telah berlaku menyimpang lalu membangkitkan murka Allah dan diubah menjadi
kera dan babi. Ayatnya berbunyi:
Katakanlah: “Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat
dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)
Dalam keadaan ini, jalinan cara berpikir yang
keliru yang telah kita tinjau sepanjang buku ini menghasilkan kesimpulan yang
tidak wajar, yakni ayat itu berisi bukan hanya kaitan rantai evolusi antara
manusia dan kera, namun juga antara manusia dan babi! Evolusionis sekali pun
tidak menyatakan ada kaitan demikian antara manusia dan babi.
Seperti telah kita lihat sejauh ini, pernyataan
bahwa sejumlah ayat Al Qur’an menuju ke arah evolusi adalah kekeliruan yang
bertentangan bukan hanya dengan Al Qur’an, melainkan juga dengan pernyataan
teori evolusi itu sendiri.
BAB V
APA YANG TERJADI JIKA
DARWINISME TIDAK DIANGGAP SEBAGAI SEBUAH ANCAMAN?
Bab-bab sebelumnya telah menyinggung berbagai
kekeliruan, yang telah menyebabkan orang Muslim pendukung evolusi terperosok.
Akan tetapi, masalah lain yang perlu ditinjau adalah bahwa teori itu mewakili
suatu bahaya tersembunyi bagi banyak orang lain, sekalipun mereka tidak
benar-benar mempercayainya.
Orang Muslim yang menganggap evolusi sebagai teori
yang tak berbahaya, sekalipun sangat berseberangan dengan fakta penciptaan,
lalu berdiam diri dan menyaksikannya berkembang, sebenarnya sedang membantu
teori itu mencengkeram masyarakat secara lebih luas dan lebih kuat. Jadi,
mereka sedang membiarkan paham ateisme tumbuh lebih kuat. Karena alasan ini,
kaum Muslimin harus mengerti filsafat yang mendasari teori ini. Evolusi adalah
filsafat materialis yang diungkapkan secara “ilmiah”. Filsafat materialis, pada
gilirannya, sesungguhnya berarti paham ateisme.
Hal ini berarti setiap Muslim wajib mengobarkan
perang pemikiran melawan ateisme.
Mereka yang Menganggap bahwa Darwinisme
Bukan Ancaman Adalah Keliru
Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa evolusi
itu adalah masalah masa lalu, dan sudah tak lagi diterima, dan oleh karena itu,
dari sudut pandang Islam, tidak menghadirkan ancaman nyata. Akibatnya, mereka
tidak melihat perlunya menyingkapkan berbagai pernyataan evolusi yang berupa
dusta dan tak ilmiah. Mereka menyatakan bahwa “Darwinisme sudah mati.”
Akan tetapi, berlawanan dengan apa yang mereka
duga, masih banyak orang yang mendukung evolusi karena berbagai pengaruh
filsafatnya, walaupun secara ilmiah, evolusi sudah runtuh.[71] Para Darwinis masih amat berpengaruh di banyak negara, perguruan tinggi,
berita, dan sekolah. Senyatanya, Darwinisme masih giat di panggung
dunia, dengan menguasai lembaga-lembaga ilmiah, berita internasional, dan
pandangan dunia para penguasa.
Kaum evolusionis dapat memaksakan tekanan yang
cukup besar terhadap dunia ilmiah. Pendapat-pendapat sepihak diajukan dalam
terbitan ilmiah dan media, dan evolusi digambarkan seakan kebenaran mutlak.
Terutama media, yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat, melukiskan setiap
tulang fosil yang ditemukan sebagai bukti baru bagi evolusi. Hal ini didukung
oleh para kalangan terpelajar Darwinis di sekolah-sekolah dan
perguruan-perguruan tinggi. Ilmuwan yang percaya kepada Tuhan dihambat dalam
karir mereka, dan, karena menolak Darwinisme, buku dan ulasan karya mereka
tidak diterbitkan. Lebih jauh lagi, mereka dituduh taklid dan terbelakang. Jika
seorang ilmuwan di negara Barat ingin membangun karir ilmiah, ia harus menutup
mata terhadap Darwinisme dan bahkan mendukungnya, terlepas dari apakah ia ingin
atau tidak. Jika tidak, akan sangat sukar baginya untuk maju dalam pekerjaan
pilihannya itu. [72]
Salah seorang ilmuwan pengecam teori ini yang paling
terkemuka adalah Phillips E. Johnson, guru besar ilmu hukum di Univesitas
California-Berkeley dan pemimpin intelektual gerakan Intelligent Design
(Rancangan Cerdas),[73] yang menggambarkan bagaimana teori ini digunakan sebagai senjata melawan
keyakinan yang benar:
Para
pemimpin ilmu pengetahuan melihat diri terjebak dalam pertempuran mati-matian
melawan kaum fundamentalis agama, julukan yang cenderung mereka berikan tanpa
pandang bulu kepada siapa pun yang percaya kepada Sang Pencipta yang berperan
giat dalam urusan duniawi. Para fundamentalis ini dipandang sebagai ancaman
bagi kebebasan yang lepas, dan khususnya sebagai ancaman bagi dukungan
masyarakat terhadap penelitian ilmiah. Sebagai mitos penciptaan paham
naturalisme ilmiah, Darwinisme memainkan peran pemikiran yang sangat diperlukan
dalam perang melawan fundamentalisme. Karena alasan itu, organisasi-organisasi
ilmiah diabdikan untuk melindungi Darwinisme dan bukan mengujinya, dan
kaidah-kaidah penelitian ilmiah telah dibentuk untuk membantu mereka agar
berhasil. [74]
Menggunakan “kediktatoran intelektual” ini, kaum
evolusionis mengubah sejumlah perguruan tinggi menjadi sarang pendidikan
Darwinis, yang menghasilkan lulusan yang percaya bahwa filsafat materialis
adalah ilmu pengetahuan. Mereka berpikir bahwa hak atas pendidikan harus
dirampas dari kaum yang beriman kepada Tuhan. Satu contoh yang paling mencolok
terlihat dalam sikap gusar Ali Demirsoy, seorang evolusionis dan guru besar
Turki, selama debat televisi tentang evolusi. Ia melontarkan pernyataan yang
senada dengan “Tidak seorang pun ilmuwan yang percaya kepada Tuhan
diperbolehkan dalam perguruan tinggi. Saya akan mendepak para mukminin keluar
dari perguruan-perguruan tinggi.” Pernyataan serupa itu nyata-nyata
mengungkapkan sikap berprasangka kaum evolusionis.
Kaum Muslimin mungkin terlalu berbaik sangka,
karena tidak menyadari fakta sebenarnya keadaan ini, dan karena itu tak mampu
membayangkan Darwinisme sebagai ancaman. Akan tetapi, para materialis dan
khususnya Marxis terus mengobarkan perang yang bersungguh-sungguh melawan agama
melalui dukungan “ilmiah” yang mereka peroleh dari paham Darwinisme. Itulah
sebabnya, kaum Muslimin perlu sesegera mungkin membebaskan diri dari anggapan
keliru bahwa Darwinisme sudah berakhir. Pada saat kaum evolusionis sedang
mencanangkan perang pemikiran sedunia melawan agama, adalah salah jika
mengatakan teori itu sudah mati dan memandang Darwinisme tak berbahaya.
Menghindari Perang Pemikiran Hanya
Memperkuat Darwinisme
Mereka yang berpikir bahwa Darwinisme sudah mati
atau bukan ancaman, yang menyebarkan pikiran itu di kalangan mereka sendiri,
secara sadar atau tidak, membantu teori ini mendapatkan landasan baru. Saat
mereka mengemukakan pendapat ini, orang pun berpikir bahwa tidak ada bahaya
seperti itu. Lebih lagi, ini menghalangi tumbuhnya kepekaan pemikiran dan
ilmiah terhadap propaganda, dusta, dan anjuran Darwinis, yang berarti
langkah-langkah kewaspadaan tidak bisa dilakukan.
Orang yang percaya kepada evolusi terus
mempersiapkan landasan berpijak, sekalipun dengan fakta yang kedaluwarsa, dan
sengit membela teori ini di setiap kesempatan. Mereka mencoba mempertahankan
agar gagasan ini tetap hidup, sekalipun dengan dusta dan pengaburan makna.
Karena tidak menganggap teori ini berbahaya, banyak Muslim tidak membaca atau
mempelajarinya, dan karena itu tidak bisa menanggapi kaum evolusionis yang
berhubungan dengan mereka secara cerdik.
Namun, tidak sulit mempelajari dan menyerap ketidakabsahan
teori ini, sebab teori ini adalah pendapat dari abad ke-19 yang telah kehilangan
semua pembenaran ilmiahnya. Lebih jauh, data ilmiah tentang asal-muasal alam
semesta dan kehidupan – misalnya, “penyetelan” alam semesta yang amat halus
(disebut juga Prinsip Antropik), kerumitan kehidupan di aras molekul, informasi
rumit dalam asal-muasal kehidupan, dan kemunculan berbagai bentuk kehidupan
yang amat beragam dalam catatan fosil secara tiba-tiba, menandaskan kebenaran
fakta penciptaan. Akan tetapi, selama mereka yang taat tidak berhasil menelaah
atau mempelajari kemajuan ini, mereka akan terus kekurangan pengetahuan untuk
menghadapi evolusionis secara cerdas. Jadi, mereka berupaya untuk menjawab
dengan mantik yang keliru dan contoh serta keterangan yang salah. Sebelum
mempergunakan bahan bacaan berlimpah yang membahas dusta gagasan Darwinis, para
Muslim harus menyadari bahaya yang ada, dan meyakini perlunya perang pemikiran.
Melihat kenyataan ini, para penganut paham
penciptaan (kreasionis) melalui evolusi, yang percaya bahwa Darwinisme tidak
berbahaya, sebenarnya terhitung bertanggung jawab atas sikap kaum Muslim yang
tetap berdiam diri di hadapan kaum Darwinis. Kami katakan ini karena, sekalipun
mereka tidak menganggap faktor kebetulan sebagai sebuah kemampuan mencipta, dan
percaya kepada Allah, mereka tidak memiliki fakta-fakta yang dibutuhkan untuk
melakukan pendekatan yang lambat dan teguh saat berhadapan dengan berbagai
pernyataan evolusionis. Dan karena itu, mereka mencari jalan tengah antara
pernyataan seperti itu dengan kepercayaan mereka sendiri. Hasilnya, mereka
mengajukan gagasan-gagasan semacam “Allah menciptakan makhluk hidup lewat
evolusi” atau “Evolusi sejalan dengan agama.”
Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan buku
ini, keadaan ini tak bisa diterima siapa pun Muslim yang sungguh-sungguh
percaya kepada Allah. Kaum evolusionis menyatakan mereka bicara atas nama ilmu
pengetahuan, namun sebenarnya mereka berdusta dengan nama ilmu pengetahuan.
Itulah sebabnya, para Muslim tidak boleh menaruh keyakinan kepada penipuan itu,
dengan penampakan luarnya yang “ilmiah”, namun harus melihat pada pemikiran yang
dibela oleh teori itu. Kegagalan dalam merasakan bangunan dan filsafat tak
bertuhan tempat teori ini berpijak, maupun menganggapnya benar, berarti
menyerah kepadanya dan berbagi dosa atas semua kejahatan yang diakibatkan Darwinisme
pada umat manusia. Tanpa sadar, Muslim serupa itu menimbulkan bahaya besar bagi
masyarakat.
Karena itulah, kaum evolusionis Muslim harus
meninjau kembali gagasan-gagasan yang mereka dukung. Menyerah kepada pihak
lawan, sambil mengetahui bahwa teori itu salah, tak terbukti, dan sepenuhnya
tidak amanah, serta mencoba menyesuaikan Islam dengan Darwinisme merupakan
pilihan yang tak bisa diterima. Kita tidak boleh melupakan bahwa semua Muslim
diwajibkan mengobarkan perang pemikiran untuk menjungkalkan semua gagasan yang
mengingkari keberadaan Allah dan menggunakan kebenaran untuk menghancurkan
dusta. Menghindari tanggung jawab, mencari kesamaan pijakan dengan kaum ateis,
dan memberikan kelonggaran bagi pihak lawan atau menyerah kepada
gagasan-gagasan mereka, semuanya adalah kesalahan berat.
Misalnya, dalam suatu masyarakat tempat paham
komunisme menyungkup, tugas seorang Muslim bukanlah “meng-Islamkan” komunisme.
Jalan sedemikian tidak memberi manfaat apa-apa bagi agama, tetapi cuma melayani
kepentingan komunisme. Tugas seorang Muslim adalah menjungkalkan komunisme
sebagai sebuah filsafat, menyerangnya di aras pemikiran, dan memperlihatkan
kebenaran Islam.
Dengan cara serupa, bukanlah tugas Muslim untuk
“meng-Islamkan” Darwinisme, melainkan menjungkalkan dusta besar itu di aras
pemikiran dan memperlihatkan kebenaran penciptaan. Karena itulah kaum Muslimin
harus bertindak secara sadar, dan tidak mendukung Darwinisme yang merupakan
dasar semua filsafat ateis.
Darwinisme Menghadirkan Ancaman pada Masyarakat
Tak seorang pun yang berpikir secara tak memihak,
jujur, dan bebas, dapat benar-benar yakin bahwa atom-atom yang tak sadar
bergabung secara tanpa sengaja, mengatur dan menyusun diri, dan akhirnya
menghasilkan manusia yang berpikir, menalar, merasa, melihat, mendengar,
membangun peradaban, membuat penemuan, menciptakan karya seni, bergembira,
berduka, atau bahkan mempelajari atom-atom yang membentuk tubuhnya sendiri
melalui mikroskop elektron. Tetapi, inilah kepercayaan tidak masuk akal yang
dicekokkan teori Darwin pada masyarakat. Meskipun yang digunakan adalah
peristilahan ilmiah, itulah saripati mantik Darwinis.
Orang-orang yang menerima “mantik” demikian mulai
kehilangan daya urai (analisis) dan penilaian yang nalar. Setelah menerima
skenario yang paling tak mungkin ini seolah amat mantiki (masuk akal), mereka
menjadi tak mampu melihat bukti yang paling nyata akan iman agama. Mereka ini,
yang telah kehilangan kemampuan berpikir serta melihat kebenaran yang paling
nyata, memahami dengan sesungguhnya anjuran dan propaganda yang mereka menjadi
korbannya, dan yang membuta menerima gagasan itu hanya karena mayoritas orang
menerimanya, dapat mudah ditarik ke arah mana pun. Setelah sampai di tahap itu,
orang-orang itu bahkan tidak dapat menggunakan kecerdasan mereka sendiri, suatu
keadaan yang membuat jauh lebih mudah untuk memberi mereka senjata dan mengirim
mereka sebagai teroris, atau meyakinkan mereka bahwa “Darwin mengatakan orang
ini berasal dari ras yang lebih rendah, jadi, engkau boleh membunuhnya.”
Nyatanya, kerusakan yang diakibatkan pada kaum
muda oleh Darwinisme di banyak negara diperkirakan tidak dapat diperbaiki.
Perusuh sepakbola di Inggris, kaum neo-Nazi di Jerman, kelompok skinheads
(kepala plontos) di Amerika, dan jumlah terbanyak kaum muda di seantero dunia
telah kehilangan semua sifat kemanusiaan. Mereka ini, yang merupakan pembunuh
dan monster, merupakan contoh hidup dari bahaya Darwinisme. Negara-negara itu
mengalami masalah yang mengenaskan dengan kaum mudanya, sebab para pemuda itu
telah menerima pendidikan Darwinis.
Kita harus sadar bahwa orang yang dibesarkan
dengan cara ini tidak akan membawa apa-apa selain bahaya bagi masyarakat tempat
mereka berada. Suatu hari, para pemuda masa kini akan menjadi dewasa,
pemerintah, diplomat, atau guru. Jadi, jika kita berharap melihat suatu
peradaban mutakhir, secara ilmiah maju, dan nalar di masa depan, kita harus
mendidik para pemuda kita dengan sasaran itu selalu di benak kita. Ini bisa
dilakukan hanya jika kita membebaskan pemuda kita dari gagasan dan dusta
Darwinis dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bukan hewan yang
berevolusi, tetapi diciptakan Allah, memiliki jiwa, dan mempunyai pengetahuan
tertinggi di antara semua makhluk hidup. Dengan kata lain, kita harus
menjelaskan kepada mereka hal yang sesungguhnya.
Jika tahu bahwa mereka telah diciptakan dengan
jiwa dan kesadaran yang mulia dan unggul, kaum muda akan menyesuaikan
perilakunya. Jika diyakinkan bahwa mereka telah berevolusi dari hewan, berasal
dari moyang yang sama dengan kera, dan gagasan sejenis lainnya, mereka akan
melihat kehidupan sebagai sebuah pertarungan dan akan memakai segala cara untuk
memenanginya. Generasi yang cuma mementingkan diri sendiri dan tak bertanggung
jawab, tega melakukan segala kekejaman dan tanpa mengenal tenggang rasa, cinta,
kehormatan, atau pun persaudaraan lalu akan muncul. Dalam perkara apa pun,
mereka akan melihat diri sendiri dan orang lain pada hakikatnya sebagai tak
bernilai, karena percaya bahwa semua manusia diturunkan dari hewan. Karena
percaya tidak ada artinya menjalani hidup yang berharkat dan berakhlak, mereka
akan sesukanya menampilkan segala jenis kezaliman dan kerusakan akhlak.
Karena itu, apa yang harus dilakukan adalah
memberantas kediktatoran pemikiran dan teori evolusionis di sekolah-sekolah, buku-buku,
pers dan media, tataran sosial – singkatnya, di mana-mana – dan mengarahkan
orang ke penalaran dan pemikiran mendalam yang diminta baik oleh Al Qur’an maupun
ilmu pengetahuan.
KESIMPULAN
Sebagaimana telah ditekankan buku ini, evolusi dan
para pendukungnya terperangkap habis karena ilmu pengetahuan secara menyeluruh
menolak Darwinisme. Para evolusionis menyadari hal ini dan, akibatnya, ada
dalam kepanikan besar. Karena itu, mereka menyerang siapa saja yang membela
kebenaran penciptaan dalam acara-acara diskusi, debat, dan di mana saja. Namun,
karena tidak memiliki jawaban, mereka hanya mencoba meraih kembali keunggulan
bicara.
Mantik “Janganlah kita mengacaukan agama dengan
ilmu pengetahuan, karena iman itu satu hal dan fakta evolusi adalah hal yang
lain” dimaksudkan untuk memecah kesatuan Muslim dan melemahkan perlawanannya.
Pesan mereka sebenarnya yang menganjurkan cara berpikir ini adalah, “Di sini
ada dunia nyata, dan ini bisa dipahami lewat ilmu pengetahuan, sehingga tidak
ada sesuatu yang disebut penciptaan, walaupun setiap orang adalah merdeka untuk
menganut keyakinan pribadinya sendiri.” Namun, ini juga tipuan yang amat besar,
sebab adalah fakta yang jelas bahwa Allah menciptakan alam semesta dan semua
makhluk hidup dan tak-hidup. Setiap rincian di alam semesta merupakan bukti
lagi atas penciptaan olehNya. Dalam kenyataannya, tiada bukti bagi teori
evolusi selain pendapat dan “kepercayaan pribadi”. Muslim harus waspada akan
anjuran penuh tipuan ini yang mencoba menunjukkan bahwa kebenaran penciptaan
juga adalah “kepercayaan pribadi”.
Anjuran sedemikian dengan mudah dikalahkan,
sebagaimana kita baca dalam ayat berikut:
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil
lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu
lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat
sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al Anbiyaa’, 21: 18)
Di balik upaya sebagian kaum Muslimin untuk
menyatukan evolusi dan agama, terdapat keraguan, kepasrahan, kekurangan
informasi, dan ketakpastian yang mereka rasakan saat menghadapi evolusi.
Tetapi, kepasrahan itu sama sekali tidak perlu karena kaum evolusionis tidak
memiliki dukungan atau bukti ilmiah untuk mempertahankan teori ini. Mereka
memakai hasutan karena sikap bersikeras taklid demi teori mereka, dan mencoba
membungkam lawan-lawan mereka dengan cara-cara tekanan psikologis atau kejiwaan.
Kedudukan mereka sebenarnya tidak memiliki harapan.
Para evolusionis Muslim tidak bisa melihat hal ini
karena tidak menyadari kemajuan-kemajuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Orang
yang kekurangan informasi terkini tentang perihal ini tentu percaya bahwa teori
evolusi adalah benar. Akan tetapi, kekurangan informasi dapat mudah diatasi
dengan cara membaca buku dan berbagai terbitan lain tentang perihal tersebut. Kaum
Muslimin yang memiliki informasi rinci tentang teori evolusi tidak bisa tetap
berdiam diri atau ragu-ragu di hadapan berbagai pernyataan evolusionis. Seiring
dengan itu, merenung tentang penciptaan Allah dan seni tanpa cela yang
menyungkupi alam semesta, berpegang teguh pada Al Qur’an, dan memahami sifat
kebenaran yang diungkapkan Al Qur’an adalah cara-cara termudah untuk
membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu.
Banyak Muslim mungkin telah menerima dan bahkan
membela evolusi karena alasan-alasan yang telah dikemukakan sepanjang buku ini.
Akan tetapi, akhlak Islami menghimbau setiap Muslim agar kembali ke jalan yang
benar saat menyadari bahwa ia telah tersesat. Mendukung pemikiran Darwinis
sebelum menyadari bahaya besar yang dapat diakibatkannya sama sekali tidak sama
dengan meneruskan dukungan setelah menyadari bahayanya bertindak begitu. Orang
bisa mendukung teori tanpa mengetahui tingkat bahaya atau ketidak-absahan
ilmiahnya. Akan tetapi, sekali telah mempelajari kebenaran masalah ini, hal
yang paling baik dan bermanfaat untuk dilakukan orang adalah langsung bertindak
dan mendukung perang pemikiran melawan teori jahat ini. Allah memerintahkan
para Muslimin:
Adapun orang-orang yang kafir,
sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para
muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al Anfaal, 8:
73)
Mereka
menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Baqarah, 2: 32)
CATATAN KAKI
1. Lester J. McCann, Blowing
the Whistle on Darwinism (1986), h. 99 (kutipan diambil dari Randy Wysong, The
Creation-Evolution Controversy (1976), h. 28-29)
2. Arda Denkel, Cumhuriyet
Bilim Teknik Eki (Suplemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Cumhuriyet), 27
Februari 1999, h.15 (Penebalan oleh Harun Yahya)
3. Sejumlah pengecam Darwinisme
masa kini paling terkemuka adalah Michael Behe (ahli biokimia), Michael Denton
(ahli biokimia), Jonathan Wells (ahli biologi), William Dembski
(matematikawan), Charles Taxton (ahli biokimia), dan Dean Kenyon (ahli biologi
molekuler). Banyak ilmuwan lain yang berpandangan menentang Darwinisme dapat
dihubungi melalui lembaga-lembaga sejenis The Discovery Institute, The
Intelligent Design Network, atau The Institution for Creation Research. (Untuk
rincian selanjutnya, lihat Harun Yahya: The Al Qur’an Leads the Way to
Science, Nickleodeon Books, Singapura, 2002)
4. David Skjaerlund, Philosophical
Origins of Evolution, http:
//www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
5. http:
//www.candleinthedark.com/anaximander.html
6. http: //buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
7. David Skjaerlund, Philosophical
Origins of Evolution,
http:/www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
8. http:
//buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
9. Maurice Manquat, Aristote
naturaliste, Paris: Librairie Philosophique, J. Vrin, 1932, h. 113
10. Sir Fred Hoyle &
Chandra Wickramasinghe (Guru Besar Astronomi Universitas Cambridge, Guru Besar
Astronomi dan Matematika Terapan Universitas College), Cardiff Evolution
from Space, J. M. Dent, 1981, h.141, 144
11. Pierre-Paul Grasse, Evolution
of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h.103
12. Fred Hoyle, Chandra
Wickramasinghe, Evolution from Space, Dent, London, 1981, h.130
13. Jalan cerita evolusi
yang terkait dengan asal-muasal kehidupan disebut teori evolusi kimiawi. Tak
terhitung jumlah percobaan yang dilakukan selama abad ke-20 gagal mendukung
teori ini. Percobaan Stanley Miller, percobaan yang paling terkenal, mencakup
“penciptaan” atmosfer purba dugaannya dan diikuti pembentukan beberapa asam
amino. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa atmosfer purba jauh lebih
bermusuhan terhadap senyawa organik (hidup) dibandingkan dengan perkiraan
Miller. Tak seorang pun pernah berhasil meniru perakitan protein, blok
pembangun kehidupan yang sebenarnya, dalam percobaan “evolusi kimiawi” mana
pun. Untuk lebih rinci, lihat Harun Yahya: Darwinism Refuted, Goodword
Books, New Delhi, 2003.
14. Pierre-Paul Grasse,
Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, h.97
15. Pada tahun 1999, seorang
paleontolog Cina menemukan fosil dua jenis ikan yang berumur kira-kira 530 juta
tahun di fauna Chengjiang. Masa itu dikenal sebagai Zaman Kambria Awal. Lihat BBC
News Online, 4 November 1999.
16. Sejarah Darwinisme
meliputi sejumlah contoh terkenal bukti yang dipalsukan. “Manusia Piltdown”
atau “moyang purba manusia” ternyata cuma tipuan yang dibuat dengan
menggabungkan rahang orang utan dan tengkorak manusia. Ahli biologi Jerman
Ernst Haeckel memalsukan gambar-gambar embrio manusia dan hewan agar tampak
mirip, dan gambar-gambar palsunya menyesatkan ilmuwan selama puluhan tahun.
Foto terkenal Ketllewells tentang “penghitaman industri”, yang memperlihatkan
ngengat abu-abu Inggris, baru-baru ini terungkap sebagai foto-foto yang diatur
di mana contoh sediaan mati direkatkan ke batang pohon. “Burung dino” yang
mengejutkan, yang diberi nama ilmiah Archaeoraptor and mengguncang dunia
di tahun 1998 ternyata dusta yang diolah dengan merekatkan lima fosil berbeda
dari makhluk-makhluk hidup berbeda. Untuk rinciannya, lihat Harun Yahya, Darwinism
Refuted, Goodword Books, New Delhi, 2003.
17. Prof. N. Heribert
Nilsson, Universitas Lund, Swedia. Ahli botani dan evolusionis ternama,
sebagaimana dikutip dalam: The Earth Before Man, h.51, http: //www.netcentro.co.uk/steveb/penkhull/create3.htm.
(Penebalan oleh Harun Yahya)
18. T. Neville George, "Fossils
in Evolutionary Perspective", Science Progress, vol 48, Januari 1960,
h. 1,3 (Penebalan oleh Harun Yahya)
19. Mark Czarnecki, "The
Revival of the Creationist Crusade", MacLean's, 19 January 1981, h. 56
20. Henry Gee, In Search
of Deep Time, New York, The Free Press, 1999, h.116-117.
21. Gertrude Hommerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 384
(Penebalan oleh Harun Yahya)
22. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
23. Mayr, Ernst, "Darwin
and Natural Selection", American Scientist, vol.65 (May/June, 1977) h.
323 (Penebalan oleh Harun Yahya)
24. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
25. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 383
26. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 384
27. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 385
28. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 381
(Penebalan oleh Harun Yahya)
29. Gertrude Himmerfarb, Darwin
and the Darwinian Revolution, Elephant Paperbacks, Chicago, 1962, h. 382
30. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, Chapter
1.VIII., Religion.
31. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, Chapter
1.VIII., Religion.
32. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, Charles Darwin kepada C. Lyell, D.
Appleton and Co., 1896, Down, April [1860].
33. Francis Darwin, The
Life and Letters of Charles Darwin, D. Appleton and Co., 1896, CHAPTER
2.XVI.
34. Conway Zirkle, Evolution,
Marxian Biology and the Social Scene, Philadelphia; the University of
Pennsylvania Press, 1959, h. 527 (Penebalan oleh Harun Yahya)
35. Robert M. Young, Darwinian
Evolution and Human History, Ceramah radio yang diberikan dalam sebuah
kuliah Universitas Terbuka tentang Darwin ke Einstein: Telaah Sejarah atas Ilmu
Pengetahuan dan Agama, 1980 (Penebalan oleh Harun Yahya)
36. L. Poliakov, Le Mythe
Aryen, Editions Complexe, Calmann Lévy, Bruxelles, 1987, h. 343 (Penebalan
oleh Harun Yahya)
37. Carl Cohen, Communism,
Fascism and Democracy, New York: Random House Publishing, 1967, ph. 408-409
(Penebalan oleh Harun Yahya)
38. Fredrick Engels, Socialism:
Utopian and Scientific, Part II: Science of Dialectics, http:
//www.marxists.org/archive/marx/works/1880/soc-utop/ch02.htm.
39. H. J. Darlington,
Evolution for Naturalists, NY: Wiley, 1980, h. 243-244
40. Robert Shapiro, Origins:
A Sceptic's Guide to the Creation of Life on Earth, Summit Books, New York,
1986, h. 207. (Penebalan oleh Harun Yahya)
41. Benjamin Farrington, What
Darwin Really Said, London: Sphere Books, 1971, h. 54-56
42. Charles Darwin, The
Descent of Man, 2nd ed., New York: A.L. Burt Co., 1874, h. 178
43. Ebus Suud adalah sheik
Islam dan ulama zaman Ottoman yang hidup antara 1492/3-1574/5.
44. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2631
45. Omar Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
46. Hamdi Yazir of Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.htm
47. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
48. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2684
49. Hamdi Yazir of Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.htm
50. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2684
51. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3915
52. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 3, h. 1268
53. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 4, h. 1958
54. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1991
55. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2763
56. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1991
57. Hamdi Yazir dari Elmali,
http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm
58.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm
59. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3983
60. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2748
61. Imam
at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1796
62. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, h. 2764
63.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/nuh.htm
64. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851
65. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 6, h. 2632
66. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1707
67. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 5, h. 2622
68.
Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/kasas.htm
69. Imam at-Tabari, Tabari
Commentary, vol. 4, h. 1877
70. Omer Nasuhi Bilmen, Turkish
Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2882
71. Lihat Harun Yahya, Darwinism
Refuted, Goodword Books, New Delhi, 2003; Phillip E. Johnson, Reason in
the Balance, Intervarsity Press, 1995; Phillip E. Johnson, The Wedge of
Truth, Intervarsity Press, 2000; Benjamin Wiker, Moral Darwinism: How We
Became Hedonists, Intervarsity Press, 2002
72. Di Amerika Serikat,
sejumlah ilmuwan yang mengecam Darwinisme telah didepak dari kedudukan mereka
oleh lembaga Darwinis seperti American Civil Liberties Union dan National
Center for Science Education. Robert deHart, seorang guru SMU, dikeluarkan di
tahun 1998 hanya karena menyebutkan kepada para muridnya sejumlah keterangan
yang mengecam Darwinisme.
73. Phillip E. Johnson
adalah seorang tokoh terdepan dalam perang pemikiran melawan Darwinisme.
Buku-bukunya mencakup Darwin on Trial, Reason in the Balance,
Defeating Darwinism by Opening Minds, Objections Sustained dan The
Wedge of Truth.
74. Philip E. Johnson, Darwin
On Trial, Intervarsity Press, Downers Grove, Illinois, cetakan ke-2, 1993,
p.155
[1] Catatan kaki 1
[2] Catatan kaki 2
[3] Catatan kaki 3
[4] Catatan kaki 4
[5] Catatan kaki 5
[6] Catatan kaki 6
[7] Catatan kaki 7
[8] Catatan kaki 8
[9] Catatan kaki 9
[10] Catatan kaki 10
[11] Catatan kaki 11
[12] Catatan kaki 12
[13] Catatan kaki 13
[14] Catatan kaki 14
[15] Catatan kaki 15
[16] Catatan kaki 16
[17] Catatan kaki 17
[18] Catatan kaki 18
[19] Catatan kaki 19
[20] Catatan kaki 20
[21] Catatan kaki 21
[22] Catatan kaki 22
[23] Catatan kaki 23
[24] Catatan kaki 24
[25] Catatan kaki 25
[26] Catatan kaki 26
[27] Catatan kaki 27
[28] Catatan kaki 28
[29] Catatan kaki 29
[30] Catatan kaki 30
[31] Catatan kaki 31
[32] Catatan kaki 32
[33] Catatan kaki 33
[34] Catatan kaki 34
[35] Catatan kaki 35
[36] Catatan kaki 36
[37] Catatan kaki 37
[38] Catatan kaki 38
[39] Catatan kaki 39
[40] Catatan kaki 40
[41] Catatan kaki 41
[42] Catatan kaki 42
[43] Catatan kaki 43
[44] Catatan kaki 44
[45] Catatan kaki 45
[46] Catatan kaki 46
[47] Catatan kaki 47
[48] Catatan kaki 48
[49] Catatan kaki 49
[50] Catatan kaki 50
[51] Catatan kaki 51
[52] Catatan kaki 52
[53] Catatan kaki 53
[54] Catatan kaki 54
[55] Catatan kaki 55
[56] Catatan kaki 56
[57] Catatan kaki 57
[58] Catatan kaki 58
[59] Catatan kaki 59
[60] Catatan kaki 60
[61] Catatan kaki 61
[62] Catatan kaki 62
[63] Catatan kaki 63
[64] Catatan kaki 64
[65] Catatan kaki 65
[66] Catatan kaki 66
[67] Catatan kaki 67
[68] Catatan kaki 68
[69] Catatan kaki 69
[70] Catatan kaki 70
[71] Catatan kaki 71
[72] Catatan kaki 72
[73] Catatan kaki 73
[74] Catatan kaki 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar